Selasa, 09 November 2010

BERIKAN “QURBAN” YANG TERBAIK UNTUK NYA ( Renungan Memperingati Hari Idul Adha 1430 H)

BERIKAN “QURBAN” YANG TERBAIK UNTUK NYA
( Renungan Memperingati Hari Idul Adha 1430 H)


I. PENGANTAR
Setiap tahun umat Islam memperingati dan merayakan hari raya Idul Adha dan umumnya hampir semua umat Islam bergembira menyambut salah satu hari raya Agama Islam ini.

Kegembiraan itu bermacam-macam ada sebagian bersuka cita karena berlangsung bersamaan dengan pelaksanaan rukun Islam ke lima bagi yang sedang melaksanakan ibadah haji di tanah suci. Ada pula yang bergembira berkumpul dengan sanak saudara, karena bersamaan dengan hari libur nasional.

Kebahagiaan lain adalah yang seringkali lebih menjadi sangat penting, karena pada hari raya Idul Adha atau sering disebut sebagai Idul Qurban itu, diadakan pemotongan hewan qurban yang merupakan sumbangan atau qurban yang disampaikan masyarakat yang berniat untuk berqurban. Kemudian daging qurban tersebut akan dibagikan kepada mereka yang digolongkan di dalam masyarakat kurang mampu, kaum dhuafa dan tentunya para anak yatim.

Beramai-ramai mereka berebut kupon pembagian daging qurban dari para panitia penyelenggara pemotongan qurban, untuk mendapat bagian sesuai dengan nomor urut pada kupon tersebut. Sekilas semua berjalan seperti normal. Makna Idul Adha lebih semarak sebagai pemotongan hewan qurban dan pembagian daging qurban,titik.

Di dalam tulisan ini, saya mencoba melakukan pendalaman makna berqurban, khususnya bagi kita, umat Muslim. Apakah perayaan Idul Adha atau Idul Qurban berhenti hanya pada seremoni potong dan bagi daging hewan saja. Jika kita menjawab pertanyaan ini dengan “Ya”, lalu apa bedanya dengan kenduri atau pesta yang dilakukan seseorang dengan melakukan pemotongan hewan, lalu bergembira makan minum bersama setelah itu bubar dan selesai.

Marilah kita masuk lebih dalam, untuk mengenal rencana Allah SWT, ketika kita diijinkan “MEMPERINGATI” bukan sekedar “merayakan” Idul Adha, agar kelak anak cucu kita MEMPERINGATI hari raya Idul Qurban dengan lebih khusyuk dan penuh rasa syukur.

II. BERQURBAN ADALAH BERKORBAN

Mengertikah kita bahwa arti kata qurban adalah sebenarnya identik korban. Ada sesuatu yang secara sukarela kita berikan tanpa mengharapkan balasan. Berkorban yang tulus seharusnya tanpa pamrih, sehingga ketika kita melaksanakan qurban, kita seharusnya tidak berpikir tentang “pahala”, karena jika kita melakukan qurban dengan harapan mendapat pahala, maka kita terjebak pada pola ibadah “transaksional” layaknya proses jual beli dengan Allah SWT, karena kita berharap dengan berqurban maka akan memperoleh pahala, itulah PAMRIH.

Pahala diberikan Allah SWT tanpa kita minta dan itu merupakan hak prerogatif Allah SWT, kita sebagai manusia tidak pernah tahu, apa bentuk pahala yang IA berikan untuk kita.

Adalah sesuatu yang aneh jika orang yang menyumbangkan hewan qurban untuk diqurbankan, lalu ikut berebut daging qurban dengan masyarakat penerima daging qurban, yang pada umumnya kaum yang tidak mampu berqurban. Ada cara yang lebih halus, dengan membisikkan kepada petugas potong hewan, agar nanti, ia menginginkan paha kanan atau hatinya atau jantungnya dan sebagainya. Lalu dimana letak makna berqurban bagi orang tersebut. Kejadian seperti ini saya temukan dan saksikan sendiri, pada setiap peringatan hari raya Idul Adha.

III. MAKNA QURBAN PADA MULANYA

Kisah bagaimana Nabi Ibrahim A.S diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyerahkan anak semata wayangnya, Ismail, untuk dijadikan persembahan atau qurban kepada Allah SWT adalah peristiwa monumental dalam kehidupan seorang manusia di hadapan Sang Khalik.

Mungkin jika saya dihadapkan pada peristiwa serupa, sejujurnya, saya tidak akan sanggup untuk melakukannya. Saya tidak dapat membayangkan, bagaimana pertentangan bathin, Nabi Ibrahim A.S saat itu. Sebagai manusia, saya yakin minimal hatinya akan menangis, ketika ia mengetahui, bahwa yang diminta untuk diqurbankan adalah anaknya.

Mengapa Allah SWT tidak meminta qurban berupa hewan, kenapa anak seorang manusia dan orang itu adalah anak semata wayang Nabi Ibrahim A.S.

Ketika kita berdoa dan memohon sesuatu kepada Allah SWT, kita sangat berharap Allah SWT akan mengabulkannya, karena permohonan itu sangat penting dalam hidup kita.

Manusia adalah tempat khilaf, seringkali Allah SWT mengabulkan permohonan seseorang dan ketika permohonan itu sudah dikabulkan, manusia berpindah hati kepada “sesuatu” yang diberikan Allah SWT, sehingga seringkali manusia lebih memperhatikan bahkan mendahulukan “sesuatu” itu, dibandingkan Allah SWT.

“Sesuatu” itu akhirnya menjadi “berhala” dalam hidupnya. Allah SWT tidak mau disekutukan dengan apapun termasuk dengan “sesuatu” yang telah dijadikan “tuhan berhala” dalam hidup kita. Begitulah Nabi Ibrahim A.S diuji KETAQWAAN dan KESETIAAN nya oleh Allah SWT. Ismail anak semata wayangnya yang diberikan Allah SWT kepada NAbi Ibrahim A.S dimintanya kembali sebagai qurban.

Allah SWT ingin menilik hati Nabi Ibrahim A.S, apakah KETAQWAAN DAN KESETIAAN nya masih kepada Allah SWT ataukah sudah beralih ke anaknya.

Banyak diantara kita, pada saat belum memiliki momongan, setiap sholat dan tahajud siang dan malam, memohon kepada Allah SWT, agar dirinya diberikan keturunan. Ketika suatu saat Allah SWT mengabulkan doa nya dan ia memiliki seorang anak, mulailah ia beralih lebih men “tuhan” kan anak dari pada Allah SWT. Untuk melaksanakan ibadah sholat pun sudah jarang dengan alasan sibuk urus anak dan sebagainya.

Manusia mudah beralih KETAQWAAN dan KESETIAAN nya, hanya karena urusan duniawi. Nabi Ibrahim A.S berhasil melewati proses ujian berat itu. Karena KETAQWAAN dan KESETIAAN itulah, kita diijinkan untuk melaksanakan qurban cukup dengan hewan.

III. APA QURBAN KITA SAAT INI

Kita hidup di jaman yang serba praktis dan pragmatis, teknologi sudah memanjakan kehidupan kita sehari-hari.

Jangan berpikir bahwa hidup dijaman modern seperti ini, semua menjadi lebih mudah, serba praktis, cukup setor uang senilai tertentu ke lembaga pengelola qurban, semuanya akan diurus dan proses qurban selesai.

Di dalam kehidupan, dimana tawaran dan gemerlap “duniawi” yang sangat luar biasa seperti ini, justru godaan iman terhadap KETAQWAAN dan KESETIAAN kepada Allah SWT semakin berat. Logika saya sebagai manusia, mengatakan, jika godaan terhadap KETAQWAAN dan KESETIAAN, maka ujian yang Allah SWT berikan kepada manusia pun akan SEMAKIN BERAT.

Mengapa saya berani berandai-andai seperti ini. Coba kita bayangkan suasana kehidupan pada jaman Nabi Ibrahim A.S waktu itu, dimana saya yakin semua masih sangat lugu dan sederhana. Pemikiran yang ada saat itu, mungkin lebih pada bagaimana bertahan untuk hidup dengan beternak dan usaha-usaha lain yang masih sangat tradisional. Dalam era kehidupan seperti itu saja, Nabi Ibrahim A.S sudah mendapat ujian dari Allah SWT yang begitu berat.

Kita yang hidup di jaman millenium ini, apa yang tidak menggoda kita. Masih banyak umat Muslim yang pergi ke mesjid untuk ibadah seperti makan obat dengan resep dokter, yakni satu tahun sekali, hanya pada saat ibadah sholat Ied pada hari raya Idul Fitri, itupun karena malu dengan tetangga.

Lebih nyaman tidur mendengkur sambil berselimut dibandingkan harus bangun ditengah malam buta untuk bertahajud di hadapan Allah SWT.
Apa bentuk qurban kita saat ini ? Jawabannya adalah tetap sebagaimana tradisi qurban yang sudah berlangsung selama ini, yakni melalui hewan qurban.

Ada orang yang begitu “niat” dan gigih dengan berkorban uang makan dan sebagainya mengumpulkan uang, saking ingin memiliki sebuah benda yang namanya HANDPHONE. Jika niat dan tekadnya dibulatkan, ternyata dia bisa memiliki handphone yang begitu ia dambakan.

Apa beda usaha orang itu, jika saya ibaratkan dia ingin berqurban seekor hewan qurban dengan niat dan tekad yang sama, mungkinkah ia bisa membeli seekor hewan qurban yang harganya mungkin tidak semahal sebuah handphone ? Insya Allah bisa !! Tapi adakah niat itu dalam hati kita ?

Yang membedakan kedua contoh kasus di atas adalah, jika yang pertama ia lakukan demi “Kesenangan Duniawi” sedangkan yang kedua adalah demi ‘KETAQWAAN’ dan “KESETIAAN” sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim A.S kepada Allah SWT.

Jika kita diminta memilih diantara kedua contoh kasus di atas, mana yang akan saudara pilih, silahkan jawab di hati masing-masing, Allah SWT Maha Mengetahui.

IV. MEMBERI LEBIH MULIA DIBANDING “DIBERI”

Falsafah berkat dari Allah SWT sering dimaknai dengan ungkapan ini “BERILAH, MAKA KAU AKAN DIBERI”, kenapa kata “berilah” ada di awal kalimat dibandingkan dengan kata “diberi”. Berilah memberikan makna proaktif, dimana untuk bisa memberi, seseorang minimal harus “berusaha”.

Kita juga mengenal ungkapan “BERDOA DAN BERIKHTIAR/BERUSAHA”, bagi orang beriman, sebelum memulai suatu pekerjaan, ia akan memulainya dengan memohon pertolongan dan keridhoan kepada Allah SWT.

Setelah berdoa, berikhtiar dan berhasil, kita diajarkan untuk menyisihkan sebagian hasil yang kita dapatkan untuk dibagikan kepada anak yatim dan kaum dhuafa baik melalui sedaqoh, zakat dan infaq.
Jadi jika melihat urutan dari seseorang memulai sesuatu sampai dengan ia memperoleh sesuatu, semua ada campur tangan Allah SWT.

Makna Idul qurban adalah kita diijinkan Allah SWT untuk ‘MEMPERINGATI” nya, kenapa memperingati ? Supaya kita selalu ingat terhadap apa yang pernah Allah SWT perintahkan kepada Nabi Ibrahim A.S. dalam hal ber”qurban” (seperti kisah yang telah disampaikan di atas). Ritual qurban bukan selesai sampai perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim A.S saja dan bukan sekedar potong hewan serta bagi-bagi daging qurban.

Kita generasi saat ini, sampai kapanpun, selama kita mengakui beriman kepada Allah SWT, akan tetap dituntut untuk menunjukkan KETAQWAAN dan KESETIAAN kepada Allah SWT lebih dari sekedar “MERAYAKAN” hari raya Idul Adha. Tuntutan Allah SWT saat ini kepada kita adalah, mana yang lebih kita cintai “DUNIAWI” (yang saya umpamakan dalam wujud HANDPHONE) atau “ALLAH SWT” (yang saya sampaikan melalui perbuatan KETAQWAAN dan KESETIAAN kepada NYA).

Untuk itulah lebih baik kita “MEMPERINGATI” hari raya Idhul Adha, agar kita selalu ingat, apapun yang kita miliki dan inginkan Allah ijinkan dan insya Allah dikabulkan dengan catatan, bahwa diantara semuanya itu, tetap ada sebagian milik anak yatim dan kaum dhuafa. Kita boleh bercita-cita untuk memiliki “HANDPHONE” idaman dan menabung untuk mendapatkannya, tetapi kita juga harus memiliki niat dan tekad yang sama, agar suatu waktu, kita pun bisa membeli hewan untuk qurban, sendiri. Memberi lebih mulia dibandingkan diberi.

V. PENUTUP

Saya bersyukur diberi hidayah dan kemampuan oleh Allah SWT, untuk bisa membuat tulisan ini dan bisa dirampungkan menjelang PERINGATAN hari raya Idul Adha 1430 H, semoga tulisan sederhana ini, bisa menggugah hati kecil kita masing-masing.

Kita yang menyebut diri sebagai orang beriman, mudah-mudahan tidak lagi bersikap dan bertindak mendahulukan “DUNIAWI” kita, dibandingkan dengan kasih Allah SWT yang begitu besar dalam hidup kita. Jangan lagi, kita yang diberkati oleh Allah SWT dengan rejeki yang cukup, malah ikut berebut daging qurban dengan mereka yang lebih membutuhkan.

Jadikanlah target “berqurban” di sepanjang dan sisa hidup kita, dengan mempersembahkan “QURBAN” yang terbaik bagi NYA, yakni segala kemampuan yang kita miliki, agar di akhir jaman ini, kita menjadi orang-orang yang selalu diingat oleh Allah SWT kelak di akhirat.Amin Ya Rabbal Alamin.

Bogor, 10 November 2009

Pimpin Nagawan

Selasa, 02 November 2010

MEMAKNAI ARTI "BERQURBAN" DIDALAM HIDUP KITA

Memaknai BERQURBAN tdk sekedar membeli dan memotong kambing atau sapi gemuk lalu selesai. Hakekat BERQURBAN berarti Mempersembahkan yang terbaik di dalam diri kita kepada Allah SWT. Contoh utama ttg KEIKHLASAN dan KETAATAN adlah apa yg sudah ditunjukkan oleh nabi Ibrahim AS ketika Allah SWT meminta kepadanya utk menyerahkan yang terbaik yang ia miliki yakni anaknya Ishak sbg qurban. Pada jaman sekarang ini,wujud nyata apa yg bisa kita persembahkan kpd Allah SWT sbg bukti bhw kita sbg umat NYA sungguh mencintai dan taat kepada NYA ? Banyak hal yg sdh Allah SWT berikan dlm hidup kita,namun utk mengembalikannya demi mensyukurinya saja,kadang kita masih "berhitung" dg NYA,mengkalkulasi untung dan ruginya. Mungkin Allah SWT tdk membutuhkan persembahan fisik secara langsung dari diri kita,seperti apa yg DIA minta kepada nabi Ibrahim AS lakukan,namun seringkali Allah SWT mengingatkan kita melalui berbagai kejadian di dlm hidup kita atau di sekitar kita,utk melihat sejauh mana keimanan dan ketaqwaan kita kpd NYA,sejauh apa keikhlasan dan ketaatan kita di dalam menjalankan segala perintah NYA. Menolong sesama yg hidup dalam kekurangan,kepedulian kita kepada fakir miskin dan kasih sayang kepada anak-anak yatim adalah salah satu wujud nyata "QURBAN" kita kepada Allah SWT. Janganlah berhitung lagi dengan NYA,berilah apa yg terbaik dalam hidup kita kepada NYA.Selamat berqurban,semoga qurban yang kita persembahkan berkenan kepada NYA.Amin

Rabu, 11 Agustus 2010

KEKUATAN,KESABARAN DAN KEIKHLASAN DALAM BERPUASA

PENDAHULUAN

Assalamualaikum Wr Wb. Tausyah Ramadhan tahun ini penulis memilih 3K sebagai tema utama, yakni KEKUATAN, KESABARAN dan KEIKHLASAN yang merupakan doa yang penulis sampaikan ke hadirat Allah SWT di dalam persiapan menjelang pelaksanaan ibadah Ramadhan 1431 H. Mengapa ketiga hal tersebut menjadi pilihan dalam doa, karena sebenarnya masih banyak harapan kita sebagai manusia kepada Sang Khalik berkenaan dengan datangnya bulan yang penuh rakhmat ini, namun dari sekian banyak doa dan harapan, penulis mengelompokkannya menjadi 3 pilar utama di dalam doa kepada Allah SWT. Dalam uraian selanjutnya, penulis akan menjabarkannya satu persatu secara lebih terperinci, agar kita semua bisa memahami hakekat dari 3 tema utama tersebut. Tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, penulis sangat berharap kepada para pembaca agar bersedia memberi kritikan dan masukan yg konstruktif untuk kemaslahatan umat pada umumnya dan diri kita masing-masing pada khususnya. Ya Allah Ya Rabbi, kepada MU lah hamba berserah, tiada kekuatan apapun selain hanya ENGKAU.

I. KEKUATAN
Jika kita berpikir bahwa kemampuan menjalankan puasa dengan mengandalkan kekuatan fisik belaka, maka pemikiran seperti itu adalah suatu kekeliruan besar, karena diri manusia itu terdiri dari 3 unsur, yakni tubuh, jiwa dan roh.

Jika seseorang berniat menjalankan ibadah Ramadhan ini dan berpikir ia punya banyak harta yang akan dia bagikan kepada anak yatim dan kaum dhuafa, sebagai bukti perbuatan baik, hal ini hanya kesombongan pribadi yang tidak berarti apa-apa di hadapan Allah SWT.

Jika Saudara melaksanakan ibadah puasa ini hanya berprinsip bahwa hal ini adalah hanya suatu yang sifatnya rutinitas setiap tahunnya, Saudara akan kecewa, karena Allah SWT selalu memperbaharui hidup manusia dan tidak bersifat statis.

Cara berpikir manusia yang seperti ini hanya merupakan “kekuatan” yang muncul dari organ yang bernama “otak” yang penuh keterbatasan yang kemudian berubah menjadi sifat dan sikap “AROGAN”. Sifat sombong manusia inilah yang seringkali menjerumuskan manusia pada perbuatan dosa dengan berani “melawan” dan “menantang” kekuatan yang sesungguhnya yakni KUASA ALLAH SWT.

Puasa hanya bisa terlaksana jika ada Ridho Allah SWT semata. Ingat doa kita mengawali puasa yakni “Niat puasa ramadhan karena Allah SWT”. Sebenarnya diri kita secara fisik hanya ibarat sebuah wayang yang tidak memiliki kekuatan apapun, jika tidak digerakkan oleh “DALANG” nya yakni Allah SWT. Hanya karena ijin dari Allah SWT sajalah, maka seluruh organ di dalam tubuh kita akan “disinkronkan” untuk saling mendukung dan menopang, agar selama lebih dari 14 jam sehari bisa bertahan untuk tidak makan dan minum, tanpa mengalami dehidrasi. Mungkin hal ini, bagi orang tak beriman, hanya sesuatu yang “biasa”, namun bagi orang beriman ia yakini adalah suatu “MUKJIZAT”. Ini salah satu fakta bahwa puasa yang diawali dengan niat dan kekuatan dari Allah SWT adalah bukan karena kekuatan manusia.

Kekuatan dalam arti kemampuan financial, seringkali membuat manusia arogan. Momentum bulan Ramadhan sebagai bulan penuh berkah, membuat sebagian orang yang merasa memiliki “kekuatan” berpikir bahwa dengan “uang atau harta” yang dimilikinya, dia bisa beramal. BERAMAL memang perbuatan yang wajib kita lakukan, tetapi beramal pun jika dilakukan hanya karena nafsu, ingin mendapat pujian atau sebagai sarana popularitas, sama saja dengan membuang garam ke laut. Semua yang kita miliki hanyalah titipan dan berasal dari kemurahan Allah SWT semata, jika kita menyadari dan imani bahwa sesungguhnya “kekuatan” yang kita miliki adalah titipan NYA, maka kita tidak akan pernah berani mangatakan bahwa itu adalah “kekuatan” kita.

Doa kita adalah. Ya Allah, berikanlah kekuatan MU kepada kami di dalam menjalankan ibadah puasa ini. Jangan membiarkan kami mengandalkan kekuatan kami sendiri, karena sesungguhnya apapun yang kami miliki berasal dari MU.

II. KESABARAN
Puasa identik dengan kesabaran, kenapa ? Karena semua unsur yang mendukung kemampuan kita untuk mampu menunaikan ibadah puasa selain kuasa Allah SWT, adalah kesabaran. Tanpa kesabaran, ibadah kita sia-sia. Ujian yang sering dialami orang yang berpuasa adalah ujian kesabaran.

Kesabaran tidak datang dengan sendirinya, kesabaran yang hakiki adalah berasal dari ketenangan batin kita. Jika batin kita tenang perasaan atau emosi cenderung bisa dikendalikan, ketenangan batin pun bisa diraih jika iman dipenuhi oleh keyakinan akan kuasa Allah SWT. Semua terkait satu dengan lainnya.

Menjalani ibadah puasa dengan berbagai ujian yang kita hadapi, bukanlah suatu yang mudah dan sederhana. Orang sabar pun kadang harus melipatgandakan stock “kesabarannya” ketika ia melaksanakan ibadah puasa kenapa ? Karena justru pada saat itulah “kesabaran” kita lebih diuji.

Untuk itulah selama menjalani puasa kita dianjurkan memperbanyak dzikir dan doa, hal ini bertujuan agar batin kita tenang dengan demikian kita akan lebih panjang sabar dalam menghadapi berbagai ujian.

Ketidaksabaran akan lebih banyak menimbulkan persoalan, ketika fisik mengalami kelelahan kita justru dituntut tetap produktif dan beraktifitas normal. Berpuasa justru lebih bermakna ketika kita berada di lingkungan sosial yang heterogen atau beragam. Makna kesabaran yang perlu kita buktikan adalah justru ketika kita berpuasa diantara orang-orang kita tidak berpuasa.

Adalah suatu tindakan atau keputusan yang kurang bijak, jika ada pemerintah daerah yang mengeluarkan Perda, selama bulan puasa rumah makan tidak boleh beraktifitas (Perda seperti ini, pernah penulis temukan di Banjarmasin).

Jika hal ini sampai diterapkan, lalu dimana makna ujian iman pada saat kita berpuasa ? Pembuktian iman kita sebagai orang Muslim yang sedang berpuasa adalah justru ketika kita mampu menjadi panutan bagi umat beragama lainnya, bahwa puasa orang Islam adalah tetap Rahmatan Lil Alamin, bukan egoisme agama yang ditonjolkan, mentang-mentang penganut Islam mayoritas, sehingga yang minoritas tidak dihormati.

KEIKHLASAN
Puasa adalah IMAN dan iman adalah keyakinan yang penuh terhadap kuasa Allah SWT. Jangan sampai kita menjalani puasa karena keterpaksaan. Misalnya karena alasan semua orang di rumah puasa, akibatnya tidak ada yang menyediakan makanan, sehingga dia jadi harus berpuasa dan sebagainya. Keikhlasan pada saat berpuasa ibarat air yang mengalir sejuk di dalam batin kita, tanpa beban dan selalu yang kita ingat adalah kata “bersyukur dan bersyukur”.

Kenikmatan terbesar adalah ketika kita mampu menjalani ibadah puasa tanpa tuntutan apapun, selain berserah kepada Allah SWT. Tak ada kuatir sekecil apapun terhadap apa yang akan terjadi, kenapa ? Karena IMAN kita lebih besar dari MASALAH.

Kepasrahan hanya bisa diperoleh jika KEYAKINAN kita kepada Allah SWT jauh melebihi PERMASALAHAN yang kita hadapi. Maka ketika kita berdzikir Allahu Akhbar…Allahu Akhbar…..Allahu Akhbar, kita benar-benar mengecilkan diri dan permasalahan yang kita hadapi dan sebaliknya Allah SWT di “BESAR” kan. Dengan demikian kita mendidik “IMAN” kita untuk selalu meyakini bahwa “TIADA YANG MUSTAHIL BAGI ALLAH SWT”.

Jika tingkat keimanan kita sudah sampai pada tahap seperti itu, apapun yang kita hadapi, ringan maupun berat, mudah maupun susah, kita tidak lagi pernah gentar, karena kita sudah mampu berserah atau pasrah kepada NYA.
Dengan kepasrahan inilah, maka kita akan selalu ikhlas dalam menjalani ibadah apapun, karena kita tahu apa yang kita lakukan, apa yang kita amalkan semua dari Allah SWT, manusia hanya sebagai perantaranya, semua milik Allah SWT dan dikembalikan untuk kemulian NYA semata.

Selamat Menjalankan Ibadah Puasa, semoga kita mampu menjadi orang-orang yang selalu ingat bahwa semua KEKUATAN, KESABARAN dan KEIKHLASAN yang kita miliki, berasal dari Allah SWT serta hal ini senantiasa akan mewarnai ibadah kita di bulan Ramadhan ini. Amin Ya Rabbal Alamin.


Sentul 11 Agustus 2010
Wassalamualaikum Wr Wb.


Pimpin Nagawan

Minggu, 01 Agustus 2010

MARI BERBUAT KEBAIKAN

Renungan Ramadhan 2010

Banyak orang berpikir dan berencana bahkan lebih hebat lagi mereka “berwacana” untuk berbuat sesuatu untuk mengisi bulan Ramadhan ini dengan “hal-hal besar”.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “hal-hal besar” di atas ? Sebelum kita membahas hal tersebut, saya akan mencoba untuk memotret berbagai aktivitas masyarakat dalam menyambut bulan Ramadhan sampai Hari Raya Idul Fitri, berdasarkan “kebiasaan” yang sering saya lihat selama ini :

1. Mereka yang “berduit” mungkin sedang sibuk mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa sambil ber-umrah;
2. Ada pula mereka yang “ber-uang” sudah mempersiapkan anggaran belanja rumah tangga selama bulan Ramadhan atau bahkan membuat jadwal, tempat, daftar menu yang akan dihidangkan atau disantap pada saat saur dan berbuka selama 30 hari puasa;
3. Ada lagi yang lebih “hebat”, yaitu berpikir dan berencana untuk mengenakan pakaian apa, beli di butik mana pada saat hari raya Idul Fitri nanti. Ini mungkin typical orang yang selalu “selangkah di depan”;
4. Ada juga yang berencana untuk memberikan sedekah, infaq dan zakat yang lebih, selama Ramadhan dan Hari Raya nanti atau mengundang anak-anak yatim dan kaum dhuafa untuk berbuka puasa bersama dsb.
5. Pada umumnya masyarakat bersuka cita menyambut datangnya Ramadhan, karena mereka mengerti bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, sehingga mereka ingin meningkatkan kualitas ibadah selama bulan suci tersebut;
6. Sebagian masyarakat bersuka cita menyambut datangmya Ramadhan karena mereka berpikir bahwa setelah berpuasa, mereka akan merayakan hari raya, mengenakan pakaian baru dsb.

Apabila ke enam aktivitas ini katakanlah mewakili berbagai hal yang terjadi dalam masyarakat di dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, lalu apa sebenarnya hakekat yang bisa diambil hikmahnya, bagi kita ?

Banyak dari antara kita masih saja terperangkap pada pemikiran, saya ini orang tidak mampu atau berapa gaji saya untuk saya bisa berbuat sesuatu di bulan Ramadhan ini.

Mengapa mental dan iman kita tidak mencoba keluar dari pola pikir seperti itu, yang akhirnya menyebabkan kita buntu dan tidak berbuat sesuatu, padahal sebenarnya kita bisa melakukannya.

Di awal tulisan ini, saya SENGAJA menaruh kata “hal-hal besar” dalam tanda kutip dengan huruf kecil dengan tujuan mengingatkan kita bahwa berbuat “hal-hal besar” bukan hanya milik “ORANG-ORANG BESAR” atau milik orang-orang kaya atau orang yang merasa dirinya mampu!

Tausyah Ramadhan kali ini, saya ingin memotivasi sekaligus membangkitkan rasa “PERCAYA DIRI” orang-orang Islam yang selama ini, masih banyak yang memiliki mental “MEMINTA-MINTA”, bukan “MEMBERI”, kenapa ? Coba bayangkan berapa jumlah umat Muslim di Indonesia, saya yakin lebih dari 70%, tapi apa yang terjadi dengan pembangunan Mesjid saja, kita harus meminta-minta sumbangan di jalan-jalan, apakah ini bukan suatu hal yang ironis !

Begitu pula dalam berbuat sesuatu, khususnya di bulan Ramadhan, ketika kita berhadapan dengan kata sedekah,infaq atau zakat saja, langsung yang terpikir adalah kalimat, saya tidak mampu atau berapa gaji saya, jangankan untuk bersedekah, untuk makan sehari-hari saja masih kurang.

Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang mengecilkan dirinya sendiri, kita semua pada hakekatnya adalah “ORANG MAMPU” kenapa ? Karena kita diberikan AKAL BUDI dan IMAN oleh Allah SWT, dan hanya kepada manusia Allah SWT memberikan hal itu, kenapa kita berani mengatakan bahwa kita “TIDAK MAMPU”, bukankah hal itu sama saja dengan kita juga mengecilkan Kuasa ALLAH SWT ?

Perbuatan yang dinilai besar tidak selalu diukur dari fisik semata, tetapi NIAT dan IKHTIAR pun, di hadapan Allah SWT, bisa lebih besar dari wujud fisik yang kita bayangkan. Kita wajib merasa “kecil” hanya di hadapan NYA saja, karena memang hanya Allah SWT yang wajib “DIBESARKAN” dalam hidup kita, karena kita adalah milik NYA dan DIA menguasai seluruh kehidupan kita.

Marilah di dalam bulan Ramadhan ini kita merubah MENTAL dan IMAN kita yang selama ini sudah terlalu lama terperangkap dalam KELESUAN dan KETIDAKPERCAYAAN DIRI. Katakan dalam hati dan tunjukkan dalam perbuatan, bahwa kita sebagai umat Muslim mampu menjadi “Pemberi” bukan “Peminta”, dengan melakukan sesuatu dari hal terkecil yang bisa kita lakukan, untuk menolong orang lain, khususnya anak-anak yatim dan kaum dhuafa.

Sekali lagi jangan mengukur sesuatu dari apa yang bisa kita lakukan namun berbuatlah dengan IKHLAS,TULUS dan hanya karena Allah SWT semata, karena yang akan menilai NIAT dan IKHTIAR, sekecil apapun yang kita lakukan, hanya Allah SWT, bukan diri kita atau orang lain. Amin.

Selamat menunaikan ibadah Ramadhan, semoga Allah SWT selalu mengaruniai kekuatan, ketabahan dan keikhlasan di dalam kita menjalankannya.Amin.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Pimpin Nagawan

Senin, 09 November 2009

BERIKAN “QURBAN” YANG TERBAIK UNTUK NYA ( Renungan Memperingati Hari Idul Adha 1430 H)

I. PENGANTAR
Setiap tahun umat Islam memperingati dan merayakan hari raya Idul Adha dan umumnya hampir semua umat Islam bergembira menyambut salah satu hari raya Agama Islam ini.

Kegembiraan itu bermacam-macam ada sebagian bersuka cita karena berlangsung bersamaan dengan pelaksanaan rukun Islam ke lima bagi yang sedang melaksanakan ibadah haji di tanah suci. Ada pula yang bergembira berkumpul dengan sanak saudara, karena bersamaan dengan hari libur nasional.

Kebahagiaan lain adalah yang seringkali lebih menjadi sangat penting, karena pada hari raya Idul Adha atau sering disebut sebagai Idul Qurban itu, diadakan pemotongan hewan qurban yang merupakan sumbangan atau qurban yang disampaikan masyarakat yang berniat untuk berqurban. Kemudian daging qurban tersebut akan dibagikan kepada mereka yang digolongkan di dalam masyarakat kurang mampu, kaum dhuafa dan tentunya para anak yatim.

Beramai-ramai mereka berebut kupon pembagian daging qurban dari para panitia penyelenggara pemotongan qurban, untuk mendapat bagian sesuai dengan nomor urut pada kupon tersebut. Sekilas semua berjalan seperti normal. Makna Idul Adha lebih semarak sebagai pemotongan hewan qurban dan pembagian daging qurban,titik.

Di dalam tulisan ini, saya mencoba melakukan pendalaman makna berqurban, khususnya bagi kita, umat Muslim. Apakah perayaan Idul Adha atau Idul Qurban berhenti hanya pada seremoni potong dan bagi daging hewan saja. Jika kita menjawab pertanyaan ini dengan “Ya”, lalu apa bedanya dengan kenduri atau pesta yang dilakukan seseorang dengan melakukan pemotongan hewan, lalu bergembira makan minum bersama setelah itu bubar dan selesai.

Marilah kita masuk lebih dalam, untuk mengenal rencana Allah SWT, ketika kita diijinkan “MEMPERINGATI” bukan sekedar “merayakan” Idul Adha, agar kelak anak cucu kita MEMPERINGATI hari raya Idul Qurban dengan lebih khusyuk dan penuh rasa syukur.

II. BERQURBAN ADALAH BERKORBAN

Mengertikah kita bahwa arti kata qurban adalah sebenarnya identik korban. Ada sesuatu yang secara sukarela kita berikan tanpa mengharapkan balasan. Berkorban yang tulus seharusnya tanpa pamrih, sehingga ketika kita melaksanakan qurban, kita seharusnya tidak berpikir tentang “pahala”, karena jika kita melakukan qurban dengan harapan mendapat pahala, maka kita terjebak pada pola ibadah “transaksional” layaknya proses jual beli dengan Allah SWT, karena kita berharap dengan berqurban maka akan memperoleh pahala, itulah PAMRIH.

Pahala diberikan Allah SWT tanpa kita minta dan itu merupakan hak prerogatif Allah SWT, kita sebagai manusia tidak pernah tahu, apa bentuk pahala yang IA berikan untuk kita.

Adalah sesuatu yang aneh jika orang yang menyumbangkan hewan qurban untuk diqurbankan, lalu ikut berebut daging qurban dengan masyarakat penerima daging qurban, yang pada umumnya kaum yang tidak mampu berqurban. Ada cara yang lebih halus, dengan membisikkan kepada petugas potong hewan, agar nanti, ia menginginkan paha kanan atau hatinya atau jantungnya dan sebagainya. Lalu dimana letak makna berqurban bagi orang tersebut. Kejadian seperti ini saya temukan dan saksikan sendiri, pada setiap peringatan hari raya Idul Adha.

III. MAKNA QURBAN PADA MULANYA

Kisah bagaimana Nabi Ibrahim A.S diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyerahkan anak semata wayangnya, Ismail, untuk dijadikan persembahan atau qurban kepada Allah SWT adalah peristiwa monumental dalam kehidupan seorang manusia di hadapan Sang Khalik.

Mungkin jika saya dihadapkan pada peristiwa serupa, sejujurnya, saya tidak akan sanggup untuk melakukannya. Saya tidak dapat membayangkan, bagaimana pertentangan bathin, Nabi Ibrahim A.S saat itu. Sebagai manusia, saya yakin minimal hatinya akan menangis, ketika ia mengetahui, bahwa yang diminta untuk diqurbankan adalah anaknya.

Mengapa Allah SWT tidak meminta qurban berupa hewan, kenapa anak seorang manusia dan orang itu adalah anak semata wayang Nabi Ibrahim A.S.

Ketika kita berdoa dan memohon sesuatu kepada Allah SWT, kita sangat berharap Allah SWT akan mengabulkannya, karena permohonan itu sangat penting dalam hidup kita.

Manusia adalah tempat khilaf, seringkali Allah SWT mengabulkan permohonan seseorang dan ketika permohonan itu sudah dikabulkan, manusia berpindah hati kepada “sesuatu” yang diberikan Allah SWT, sehingga seringkali manusia lebih memperhatikan bahkan mendahulukan “sesuatu” itu, dibandingkan Allah SWT.

“Sesuatu” itu akhirnya menjadi “berhala” dalam hidupnya. Allah SWT tidak mau disekutukan dengan apapun termasuk dengan “sesuatu” yang telah dijadikan “tuhan berhala” dalam hidup kita. Begitulah Nabi Ibrahim A.S diuji KETAQWAAN dan KESETIAAN nya oleh Allah SWT. Ismail anak semata wayangnya yang diberikan Allah SWT kepada NAbi Ibrahim A.S dimintanya kembali sebagai qurban.

Allah SWT ingin menilik hati Nabi Ibrahim A.S, apakah KETAQWAAN DAN KESETIAAN nya masih kepada Allah SWT ataukah sudah beralih ke anaknya.

Banyak diantara kita, pada saat belum memiliki momongan, setiap sholat dan tahajud siang dan malam, memohon kepada Allah SWT, agar dirinya diberikan keturunan. Ketika suatu saat Allah SWT mengabulkan doa nya dan ia memiliki seorang anak, mulailah ia beralih lebih men “tuhan” kan anak dari pada Allah SWT. Untuk melaksanakan ibadah sholat pun sudah jarang dengan alasan sibuk urus anak dan sebagainya.

Manusia mudah beralih KETAQWAAN dan KESETIAAN nya, hanya karena urusan duniawi. Nabi Ibrahim A.S berhasil melewati proses ujian berat itu. Karena KETAQWAAN dan KESETIAAN itulah, kita diijinkan untuk melaksanakan qurban cukup dengan hewan.

III. APA QURBAN KITA SAAT INI

Kita hidup di jaman yang serba praktis dan pragmatis, teknologi sudah memanjakan kehidupan kita sehari-hari.

Jangan berpikir bahwa hidup dijaman modern seperti ini, semua menjadi lebih mudah, serba praktis, cukup setor uang senilai tertentu ke lembaga pengelola qurban, semuanya akan diurus dan proses qurban selesai.

Di dalam kehidupan, dimana tawaran dan gemerlap “duniawi” yang sangat luar biasa seperti ini, justru godaan iman terhadap KETAQWAAN dan KESETIAAN kepada Allah SWT semakin berat. Logika saya sebagai manusia, mengatakan, jika godaan terhadap KETAQWAAN dan KESETIAAN, maka ujian yang Allah SWT berikan kepada manusia pun akan SEMAKIN BERAT.

Mengapa saya berani berandai-andai seperti ini. Coba kita bayangkan suasana kehidupan pada jaman Nabi Ibrahim A.S waktu itu, dimana saya yakin semua masih sangat lugu dan sederhana. Pemikiran yang ada saat itu, mungkin lebih pada bagaimana bertahan untuk hidup dengan beternak dan usaha-usaha lain yang masih sangat tradisional. Dalam era kehidupan seperti itu saja, Nabi Ibrahim A.S sudah mendapat ujian dari Allah SWT yang begitu berat.

Kita yang hidup di jaman millenium ini, apa yang tidak menggoda kita. Masih banyak umat Muslim yang pergi ke mesjid untuk ibadah seperti makan obat dengan resep dokter, yakni satu tahun sekali, hanya pada saat ibadah sholat Ied pada hari raya Idul Fitri, itupun karena malu dengan tetangga.

Lebih nyaman tidur mendengkur sambil berselimut dibandingkan harus bangun ditengah malam buta untuk bertahajud di hadapan Allah SWT.
Apa bentuk qurban kita saat ini ? Jawabannya adalah tetap sebagaimana tradisi qurban yang sudah berlangsung selama ini, yakni melalui hewan qurban.

Ada orang yang begitu “niat” dan gigih dengan berkorban uang makan dan sebagainya mengumpulkan uang, saking ingin memiliki sebuah benda yang namanya HANDPHONE. Jika niat dan tekadnya dibulatkan, ternyata dia bisa memiliki handphone yang begitu ia dambakan.

Apa beda usaha orang itu, jika saya ibaratkan dia ingin berqurban seekor hewan qurban dengan niat dan tekad yang sama, mungkinkah ia bisa membeli seekor hewan qurban yang harganya mungkin tidak semahal sebuah handphone ? Insya Allah bisa !! Tapi adakah niat itu dalam hati kita ?

Yang membedakan kedua contoh kasus di atas adalah, jika yang pertama ia lakukan demi “Kesenangan Duniawi” sedangkan yang kedua adalah demi ‘KETAQWAAN’ dan “KESETIAAN” sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim A.S kepada Allah SWT.

Jika kita diminta memilih diantara kedua contoh kasus di atas, mana yang akan saudara pilih, silahkan jawab di hati masing-masing, Allah SWT Maha Mengetahui.

IV. MEMBERI LEBIH MULIA DIBANDING “DIBERI”

Falsafah berkat dari Allah SWT sering dimaknai dengan ungkapan ini “BERILAH, MAKA KAU AKAN DIBERI”, kenapa kata “berilah” ada di awal kalimat dibandingkan dengan kata “diberi”. Berilah memberikan makna proaktif, dimana untuk bisa memberi, seseorang minimal harus “berusaha”.

Kita juga mengenal ungkapan “BERDOA DAN BERIKHTIAR/BERUSAHA”, bagi orang beriman, sebelum memulai suatu pekerjaan, ia akan memulainya dengan memohon pertolongan dan keridhoan kepada Allah SWT.

Setelah berdoa, berikhtiar dan berhasil, kita diajarkan untuk menyisihkan sebagian hasil yang kita dapatkan untuk dibagikan kepada anak yatim dan kaum dhuafa baik melalui sedaqoh, zakat dan infaq.
Jadi jika melihat urutan dari seseorang memulai sesuatu sampai dengan ia memperoleh sesuatu, semua ada campur tangan Allah SWT.

Makna Idul qurban adalah kita diijinkan Allah SWT untuk ‘MEMPERINGATI” nya, kenapa memperingati ? Supaya kita selalu ingat terhadap apa yang pernah Allah SWT perintahkan kepada Nabi Ibrahim A.S. dalam hal ber”qurban” (seperti kisah yang telah disampaikan di atas). Ritual qurban bukan selesai sampai perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim A.S saja dan bukan sekedar potong hewan serta bagi-bagi daging qurban.

Kita generasi saat ini, sampai kapanpun, selama kita mengakui beriman kepada Allah SWT, akan tetap dituntut untuk menunjukkan KETAQWAAN dan KESETIAAN kepada Allah SWT lebih dari sekedar “MERAYAKAN” hari raya Idul Adha. Tuntutan Allah SWT saat ini kepada kita adalah, mana yang lebih kita cintai “DUNIAWI” (yang saya umpamakan dalam wujud HANDPHONE) atau “ALLAH SWT” (yang saya sampaikan melalui perbuatan KETAQWAAN dan KESETIAAN kepada NYA).

Untuk itulah lebih baik kita “MEMPERINGATI” hari raya Idhul Adha, agar kita selalu ingat, apapun yang kita miliki dan inginkan Allah ijinkan dan insya Allah dikabulkan dengan catatan, bahwa diantara semuanya itu, tetap ada sebagian milik anak yatim dan kaum dhuafa. Kita boleh bercita-cita untuk memiliki “HANDPHONE” idaman dan menabung untuk mendapatkannya, tetapi kita juga harus memiliki niat dan tekad yang sama, agar suatu waktu, kita pun bisa membeli hewan untuk qurban, sendiri. Memberi lebih mulia dibandingkan diberi.

V. PENUTUP

Saya bersyukur diberi hidayah dan kemampuan oleh Allah SWT, untuk bisa membuat tulisan ini dan bisa dirampungkan menjelang PERINGATAN hari raya Idul Adha 1430 H, semoga tulisan sederhana ini, bisa menggugah hati kecil kita masing-masing.

Kita yang menyebut diri sebagai orang beriman, mudah-mudahan tidak lagi bersikap dan bertindak mendahulukan “DUNIAWI” kita, dibandingkan dengan kasih Allah SWT yang begitu besar dalam hidup kita. Jangan lagi, kita yang diberkati oleh Allah SWT dengan rejeki yang cukup, malah ikut berebut daging qurban dengan mereka yang lebih membutuhkan.

Jadikanlah target “berqurban” di sepanjang dan sisa hidup kita, dengan mempersembahkan “QURBAN” yang terbaik bagi NYA, yakni segala kemampuan yang kita miliki, agar di akhir jaman ini, kita menjadi orang-orang yang selalu diingat oleh Allah SWT kelak di akhirat.Amin Ya Rabbal Alamin.

Bogor, 10 November 2009

Pimpin Nagawan

Senin, 24 Agustus 2009

BERSYUKUR ATAS SEGALA PERKARA

Persepsi nikmat dalam konteks pemahaman iman kepada Allah SWT bukan sekedar sesuatu yang kita rasakan "ENAK atau MENYENANGKAN" Jika kita hanya bersyukur karena nikmat NYA saja, lalu apakah kita akan mengeluh atau menghujat ketika apa yang kita rasakan "TIDAK NIKMAT atau TIDAK MENYENANGKAN", padahal kedua-duanya berasal dari NYA.

Bersyukur harus terhadap keduanya ENAK-TIDAK ENAK, SENANG-TIDAK SENANG. Renungkanlah semua kejadian yang mungkin sangat/tidak menyenangkan, yang pernah kita alami dalam hidup kita. Lalu apa yang kita kita rasakan saat itu, bagaimana reaksi fisik/batin saat itu dan apa yang ada dalam pikiran kita saat itu. Mayoritas akan menjawab kesel,sedih,mengeluh bahkan ada yang menghujat.

Sekarang setalah kejadian itu berlalu, pernahkah kita mencoba merefleksikan antara kejadian yang tidak menyenangkan itu dengan apa yang terjadi kemudian, saya menyebutnya sebagai HIKMAH karena sudah beratus-ratus kali bahkan mungkin tak terhitung dalam hidup saya mengalami sesuatu yang menyakitkan, tapi justru melalui kejadian itulah Allah SWT berbicara dan menyampaikan sesuatu yang pada akhirnya saya tahu itu adalah sesuatu yang sangat baik dalam hidup saya.

Jadi antara NIKMAT dan HIKMAH tidak ada bedanya, yang membedakannya adalah Nikmat kita rasakan saat itu juga sedangkan HIKMAH baru kita rasakan beberapa waktu kemudian, tapi semua itu untuk kebaikan kita semua. Maka syukurilah keduanya.

KEYAKINAN DAN KEPASRAHAN

Kisah ini nyata dlm hidup saya.Tahun 2006 salah satu bisnis unit di perusahaan tempat saya bekerja merugi cukup besar. Boss meminta agar saya mengambil alih kendali perusahaan tsb. Pd awalnya saya menolak krn saya tdk memiliki pengalaman dalam mengelola pabrik secara langsung. Akhirnya krn boss yang terus mendesak,sy menerima permintaan itu. Saya sungguh awam ketika awal mulai menangani operasional pabrik tsb. Saya hanya yakin karena ini amanah dari Allah SWT, maka hanya kepada NYA saya berserah dan memohon pertolongan. Sejak saya mulai memegang kendali di perusahaan itu, praktis saya hampir tidak pernah keluar kantor utk makan siang. Saya beli makanan di kantin atau bawa makanan dari rumah, waktu makan saya batasi 20mnt, kemudian sholat dzuhur dan membaca surat Yasin atau doa Ukasyah serta memohon pertolongan Allah SWT agar saya diberikan kelancaran, kemudahan dan pertolongan agar bisa menunaikan amanah ini dengan baik. Subhanallah setiap hari saya melihat mukjizat dan kuasa Allah SWT menolong saya dalam segala hal. Syukur alhamdulillah th 2007 perusahaan itu laba walaupun masih kecil. Kebiasaan saya terus berlanjut di th 2008 dan saya benar-benar menikmati pertolongan Allah SWT yang luar biasa dan berhasil meraih laba sangat besar, sampai boss saya tidak percaya. Dari pengalaman itulah sy menulis Berharap Hanya Kepada NYA. Pengalaman ini saya bagikan kpd semua org,bahwa jika kita yakin dan pasrah kepada NYA,dalam hal apapun,kita akan melihat dan mersakan Kuasa dan Mukjizat Allah SWT. Bagi manusia bisa mustahil tapi bagi Allah SWT tidak ada yang mustahil.Amin