Selasa, 09 November 2010

BERIKAN “QURBAN” YANG TERBAIK UNTUK NYA ( Renungan Memperingati Hari Idul Adha 1430 H)

BERIKAN “QURBAN” YANG TERBAIK UNTUK NYA
( Renungan Memperingati Hari Idul Adha 1430 H)


I. PENGANTAR
Setiap tahun umat Islam memperingati dan merayakan hari raya Idul Adha dan umumnya hampir semua umat Islam bergembira menyambut salah satu hari raya Agama Islam ini.

Kegembiraan itu bermacam-macam ada sebagian bersuka cita karena berlangsung bersamaan dengan pelaksanaan rukun Islam ke lima bagi yang sedang melaksanakan ibadah haji di tanah suci. Ada pula yang bergembira berkumpul dengan sanak saudara, karena bersamaan dengan hari libur nasional.

Kebahagiaan lain adalah yang seringkali lebih menjadi sangat penting, karena pada hari raya Idul Adha atau sering disebut sebagai Idul Qurban itu, diadakan pemotongan hewan qurban yang merupakan sumbangan atau qurban yang disampaikan masyarakat yang berniat untuk berqurban. Kemudian daging qurban tersebut akan dibagikan kepada mereka yang digolongkan di dalam masyarakat kurang mampu, kaum dhuafa dan tentunya para anak yatim.

Beramai-ramai mereka berebut kupon pembagian daging qurban dari para panitia penyelenggara pemotongan qurban, untuk mendapat bagian sesuai dengan nomor urut pada kupon tersebut. Sekilas semua berjalan seperti normal. Makna Idul Adha lebih semarak sebagai pemotongan hewan qurban dan pembagian daging qurban,titik.

Di dalam tulisan ini, saya mencoba melakukan pendalaman makna berqurban, khususnya bagi kita, umat Muslim. Apakah perayaan Idul Adha atau Idul Qurban berhenti hanya pada seremoni potong dan bagi daging hewan saja. Jika kita menjawab pertanyaan ini dengan “Ya”, lalu apa bedanya dengan kenduri atau pesta yang dilakukan seseorang dengan melakukan pemotongan hewan, lalu bergembira makan minum bersama setelah itu bubar dan selesai.

Marilah kita masuk lebih dalam, untuk mengenal rencana Allah SWT, ketika kita diijinkan “MEMPERINGATI” bukan sekedar “merayakan” Idul Adha, agar kelak anak cucu kita MEMPERINGATI hari raya Idul Qurban dengan lebih khusyuk dan penuh rasa syukur.

II. BERQURBAN ADALAH BERKORBAN

Mengertikah kita bahwa arti kata qurban adalah sebenarnya identik korban. Ada sesuatu yang secara sukarela kita berikan tanpa mengharapkan balasan. Berkorban yang tulus seharusnya tanpa pamrih, sehingga ketika kita melaksanakan qurban, kita seharusnya tidak berpikir tentang “pahala”, karena jika kita melakukan qurban dengan harapan mendapat pahala, maka kita terjebak pada pola ibadah “transaksional” layaknya proses jual beli dengan Allah SWT, karena kita berharap dengan berqurban maka akan memperoleh pahala, itulah PAMRIH.

Pahala diberikan Allah SWT tanpa kita minta dan itu merupakan hak prerogatif Allah SWT, kita sebagai manusia tidak pernah tahu, apa bentuk pahala yang IA berikan untuk kita.

Adalah sesuatu yang aneh jika orang yang menyumbangkan hewan qurban untuk diqurbankan, lalu ikut berebut daging qurban dengan masyarakat penerima daging qurban, yang pada umumnya kaum yang tidak mampu berqurban. Ada cara yang lebih halus, dengan membisikkan kepada petugas potong hewan, agar nanti, ia menginginkan paha kanan atau hatinya atau jantungnya dan sebagainya. Lalu dimana letak makna berqurban bagi orang tersebut. Kejadian seperti ini saya temukan dan saksikan sendiri, pada setiap peringatan hari raya Idul Adha.

III. MAKNA QURBAN PADA MULANYA

Kisah bagaimana Nabi Ibrahim A.S diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyerahkan anak semata wayangnya, Ismail, untuk dijadikan persembahan atau qurban kepada Allah SWT adalah peristiwa monumental dalam kehidupan seorang manusia di hadapan Sang Khalik.

Mungkin jika saya dihadapkan pada peristiwa serupa, sejujurnya, saya tidak akan sanggup untuk melakukannya. Saya tidak dapat membayangkan, bagaimana pertentangan bathin, Nabi Ibrahim A.S saat itu. Sebagai manusia, saya yakin minimal hatinya akan menangis, ketika ia mengetahui, bahwa yang diminta untuk diqurbankan adalah anaknya.

Mengapa Allah SWT tidak meminta qurban berupa hewan, kenapa anak seorang manusia dan orang itu adalah anak semata wayang Nabi Ibrahim A.S.

Ketika kita berdoa dan memohon sesuatu kepada Allah SWT, kita sangat berharap Allah SWT akan mengabulkannya, karena permohonan itu sangat penting dalam hidup kita.

Manusia adalah tempat khilaf, seringkali Allah SWT mengabulkan permohonan seseorang dan ketika permohonan itu sudah dikabulkan, manusia berpindah hati kepada “sesuatu” yang diberikan Allah SWT, sehingga seringkali manusia lebih memperhatikan bahkan mendahulukan “sesuatu” itu, dibandingkan Allah SWT.

“Sesuatu” itu akhirnya menjadi “berhala” dalam hidupnya. Allah SWT tidak mau disekutukan dengan apapun termasuk dengan “sesuatu” yang telah dijadikan “tuhan berhala” dalam hidup kita. Begitulah Nabi Ibrahim A.S diuji KETAQWAAN dan KESETIAAN nya oleh Allah SWT. Ismail anak semata wayangnya yang diberikan Allah SWT kepada NAbi Ibrahim A.S dimintanya kembali sebagai qurban.

Allah SWT ingin menilik hati Nabi Ibrahim A.S, apakah KETAQWAAN DAN KESETIAAN nya masih kepada Allah SWT ataukah sudah beralih ke anaknya.

Banyak diantara kita, pada saat belum memiliki momongan, setiap sholat dan tahajud siang dan malam, memohon kepada Allah SWT, agar dirinya diberikan keturunan. Ketika suatu saat Allah SWT mengabulkan doa nya dan ia memiliki seorang anak, mulailah ia beralih lebih men “tuhan” kan anak dari pada Allah SWT. Untuk melaksanakan ibadah sholat pun sudah jarang dengan alasan sibuk urus anak dan sebagainya.

Manusia mudah beralih KETAQWAAN dan KESETIAAN nya, hanya karena urusan duniawi. Nabi Ibrahim A.S berhasil melewati proses ujian berat itu. Karena KETAQWAAN dan KESETIAAN itulah, kita diijinkan untuk melaksanakan qurban cukup dengan hewan.

III. APA QURBAN KITA SAAT INI

Kita hidup di jaman yang serba praktis dan pragmatis, teknologi sudah memanjakan kehidupan kita sehari-hari.

Jangan berpikir bahwa hidup dijaman modern seperti ini, semua menjadi lebih mudah, serba praktis, cukup setor uang senilai tertentu ke lembaga pengelola qurban, semuanya akan diurus dan proses qurban selesai.

Di dalam kehidupan, dimana tawaran dan gemerlap “duniawi” yang sangat luar biasa seperti ini, justru godaan iman terhadap KETAQWAAN dan KESETIAAN kepada Allah SWT semakin berat. Logika saya sebagai manusia, mengatakan, jika godaan terhadap KETAQWAAN dan KESETIAAN, maka ujian yang Allah SWT berikan kepada manusia pun akan SEMAKIN BERAT.

Mengapa saya berani berandai-andai seperti ini. Coba kita bayangkan suasana kehidupan pada jaman Nabi Ibrahim A.S waktu itu, dimana saya yakin semua masih sangat lugu dan sederhana. Pemikiran yang ada saat itu, mungkin lebih pada bagaimana bertahan untuk hidup dengan beternak dan usaha-usaha lain yang masih sangat tradisional. Dalam era kehidupan seperti itu saja, Nabi Ibrahim A.S sudah mendapat ujian dari Allah SWT yang begitu berat.

Kita yang hidup di jaman millenium ini, apa yang tidak menggoda kita. Masih banyak umat Muslim yang pergi ke mesjid untuk ibadah seperti makan obat dengan resep dokter, yakni satu tahun sekali, hanya pada saat ibadah sholat Ied pada hari raya Idul Fitri, itupun karena malu dengan tetangga.

Lebih nyaman tidur mendengkur sambil berselimut dibandingkan harus bangun ditengah malam buta untuk bertahajud di hadapan Allah SWT.
Apa bentuk qurban kita saat ini ? Jawabannya adalah tetap sebagaimana tradisi qurban yang sudah berlangsung selama ini, yakni melalui hewan qurban.

Ada orang yang begitu “niat” dan gigih dengan berkorban uang makan dan sebagainya mengumpulkan uang, saking ingin memiliki sebuah benda yang namanya HANDPHONE. Jika niat dan tekadnya dibulatkan, ternyata dia bisa memiliki handphone yang begitu ia dambakan.

Apa beda usaha orang itu, jika saya ibaratkan dia ingin berqurban seekor hewan qurban dengan niat dan tekad yang sama, mungkinkah ia bisa membeli seekor hewan qurban yang harganya mungkin tidak semahal sebuah handphone ? Insya Allah bisa !! Tapi adakah niat itu dalam hati kita ?

Yang membedakan kedua contoh kasus di atas adalah, jika yang pertama ia lakukan demi “Kesenangan Duniawi” sedangkan yang kedua adalah demi ‘KETAQWAAN’ dan “KESETIAAN” sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim A.S kepada Allah SWT.

Jika kita diminta memilih diantara kedua contoh kasus di atas, mana yang akan saudara pilih, silahkan jawab di hati masing-masing, Allah SWT Maha Mengetahui.

IV. MEMBERI LEBIH MULIA DIBANDING “DIBERI”

Falsafah berkat dari Allah SWT sering dimaknai dengan ungkapan ini “BERILAH, MAKA KAU AKAN DIBERI”, kenapa kata “berilah” ada di awal kalimat dibandingkan dengan kata “diberi”. Berilah memberikan makna proaktif, dimana untuk bisa memberi, seseorang minimal harus “berusaha”.

Kita juga mengenal ungkapan “BERDOA DAN BERIKHTIAR/BERUSAHA”, bagi orang beriman, sebelum memulai suatu pekerjaan, ia akan memulainya dengan memohon pertolongan dan keridhoan kepada Allah SWT.

Setelah berdoa, berikhtiar dan berhasil, kita diajarkan untuk menyisihkan sebagian hasil yang kita dapatkan untuk dibagikan kepada anak yatim dan kaum dhuafa baik melalui sedaqoh, zakat dan infaq.
Jadi jika melihat urutan dari seseorang memulai sesuatu sampai dengan ia memperoleh sesuatu, semua ada campur tangan Allah SWT.

Makna Idul qurban adalah kita diijinkan Allah SWT untuk ‘MEMPERINGATI” nya, kenapa memperingati ? Supaya kita selalu ingat terhadap apa yang pernah Allah SWT perintahkan kepada Nabi Ibrahim A.S. dalam hal ber”qurban” (seperti kisah yang telah disampaikan di atas). Ritual qurban bukan selesai sampai perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim A.S saja dan bukan sekedar potong hewan serta bagi-bagi daging qurban.

Kita generasi saat ini, sampai kapanpun, selama kita mengakui beriman kepada Allah SWT, akan tetap dituntut untuk menunjukkan KETAQWAAN dan KESETIAAN kepada Allah SWT lebih dari sekedar “MERAYAKAN” hari raya Idul Adha. Tuntutan Allah SWT saat ini kepada kita adalah, mana yang lebih kita cintai “DUNIAWI” (yang saya umpamakan dalam wujud HANDPHONE) atau “ALLAH SWT” (yang saya sampaikan melalui perbuatan KETAQWAAN dan KESETIAAN kepada NYA).

Untuk itulah lebih baik kita “MEMPERINGATI” hari raya Idhul Adha, agar kita selalu ingat, apapun yang kita miliki dan inginkan Allah ijinkan dan insya Allah dikabulkan dengan catatan, bahwa diantara semuanya itu, tetap ada sebagian milik anak yatim dan kaum dhuafa. Kita boleh bercita-cita untuk memiliki “HANDPHONE” idaman dan menabung untuk mendapatkannya, tetapi kita juga harus memiliki niat dan tekad yang sama, agar suatu waktu, kita pun bisa membeli hewan untuk qurban, sendiri. Memberi lebih mulia dibandingkan diberi.

V. PENUTUP

Saya bersyukur diberi hidayah dan kemampuan oleh Allah SWT, untuk bisa membuat tulisan ini dan bisa dirampungkan menjelang PERINGATAN hari raya Idul Adha 1430 H, semoga tulisan sederhana ini, bisa menggugah hati kecil kita masing-masing.

Kita yang menyebut diri sebagai orang beriman, mudah-mudahan tidak lagi bersikap dan bertindak mendahulukan “DUNIAWI” kita, dibandingkan dengan kasih Allah SWT yang begitu besar dalam hidup kita. Jangan lagi, kita yang diberkati oleh Allah SWT dengan rejeki yang cukup, malah ikut berebut daging qurban dengan mereka yang lebih membutuhkan.

Jadikanlah target “berqurban” di sepanjang dan sisa hidup kita, dengan mempersembahkan “QURBAN” yang terbaik bagi NYA, yakni segala kemampuan yang kita miliki, agar di akhir jaman ini, kita menjadi orang-orang yang selalu diingat oleh Allah SWT kelak di akhirat.Amin Ya Rabbal Alamin.

Bogor, 10 November 2009

Pimpin Nagawan

Tidak ada komentar: