Selasa, 02 Desember 2008

BEKAL IMAN SAAT KRISIS

BERHARAP HANYA KEPADA-NYA
( Perjalanan Seorang Mualaf Bagian ke IV )


I. PENDAHULUAN

Sebagai seorang manusia kita seringkali memiliki sikap sombong, seolah-olah dengan segala kepintaran, kekuasaan, kekayaan dan ketampanan/kecantikan, manusia mampu berbuat apapun, tanpa mempedulikan lingkungannya, bahkan yang lebih parah lagi tidak lagi membutuhkan pertolongan Allah SWT. Namun di sisi lain kita juga sering melihat kenyataan, pada saat manusia mengalami suatu ketidakmampuan atau kebuntuan dalam suatu persoalan, baru lah dia ingat kepada Allah SWT. Jadi dengan kata lain, Allah SWT hanya dijadikan “ban serep” yang disimpan dalam-dalam, bahkan yang lebih tragis lupa “disimpan” dimana, sehingga pada saat dibutuhkan, dicari-cari tanpa arah yang jelas.

Manusiawikah sikap seperti itu, bisa ya bisa juga tidak. Seringkali melalui suatu peristiwa yang pahit, kita baru sadar bahwa apa yang selama ini ia lakukan, tidak pernah “dikonsultasikan” kepada Allah SWT, sehingga seringkalai ketika sadar, dia sudah berada di dalam lumpur yang pekat.

Jika kita menilik lebih jauh, apakah yang sebenarnya menyebabkan manusia bisa seperti itu. Jawabannya adalah karena kita sering mengukur persoalan dari sudut besar-kecil, berat-ringan dan seterusnya. Lalu karena sifat kesombongan yang memang sudah ada sejak dari awalnya, kita lalu memilah-milah, ini adalah tugas saya dan yang itu tugas Allah SWT, sehingga jika persoalan kita anggap ringan dan kecil, kita sering bersikap “tidak membutuhkan” Allah SWT.

Pada saat kita berhadapan pada suatu kebuntuan atau kebingungan, tiba-tiba kita sadar bahwa itu adalah porsi Allah SWT, karena sebagai manusia kita sudah tidak mampu lagi.

Tulisan ini, sebagaimana tulisan saya sebelumnya juga terjadi dalam kehidupan saya dan melalui doa dan iman, Allah membukakan mata hati saya bahwa sesungguhnya tidak ada yang kecil atau besar di mata Allah SWT, artinya semua yang kecil itu sebenarnya sama besarnya di hadapan Allah SWT, karena Allah SWT menilik hati dan iman kita, bukan besar-kecil, ringan-beratnya persoalan yang kita alami.

Semoga melalui tulisan ke empat ini, kita semakin disadarkan bahwa mulai dari hal yang kecil sampai dengan yang besar, semuanya penting di hadapan Allah SWT.

II. MANUSIA TEMPAT KHILAF
Intelektualitas dalam diri manusia adalah suatu karunia yang diberikan Cuma-Cuma oleh Allah SWT kepada manusia. Semua diberikan porsi dan kesempatan yang sama di dalam kehidupan ini. Tidak ada seorang yang lahir di dunia ini sudah begitu jeniusnya, sehingga tanpa melalui proses pendidikan, ia otomatis akan menjadi serang insinyur, dokter atau professor. Kepandaian yang dianugerahkan Allah SWT bukan berarti tanpa batas, norma masyarakat, agama, peraturan dan sebagainya merupakan sekat yang membatasi agar “intelektualitas” yang dimiliki seseorang tetap berjalan pada jalur yang benar.

Manusia seringkali lupa akan hal itu, untuk sebagian manusia, kepandaian, kejeniusan, kesuksesan dijadikan sebagai “tuhan” bagi dirinya, sehingga yang terjadi adalah jika tanpa pagar yang membatasi, akan melahirkan manusia-manusia yang tidak lagi mengakui keberadaan Allah SWT dalam hidupnya. Jangan coba-coba berbicara tentang Allah SWT kepada orang semacam ini, karena bagi mereka cerita kita hanya seperti khayalan atau dongeng sebelum tidur.

Keilmuan yang mereka kuasai telah menuntun mereka kepada pemahaman yang sangat dogmatis, sehingga kebenaran bagi mereka hanya ada pada ilmu pengetahuan semata, di luar itu semua hanya fiksi. Ilmu yang diserap secara dogmatis, akan membuat mereka tidak lagi membutuhkan Allah SWT, karena bagi mereka semua bisa dicari jawabannya hanya melalui ilmu pengetahuan.

Apakah pengertian ilmu hanya semata-mata pengetahuan yang kita peroleh melalui bangku pendidikan formal saja ? Tidak ! Ilmu meliputi semua pengetahuan yang diperoleh baik melalui proses pendidikan maupun otodidak (belajar sendiri).

Apakah begitu luar biasanya ilmu yang dikuasai seseorang, sehingga dia bisa bersikap tidak membutuhkan Allah SWT ? Ya, jika ilmu tidak disertai dengan IMAN KEPADA ALLAH SWT SECARA BENAR, akan mengakibatkan, mata hati manusia tertutup. Jika kita selalu bersikap memilah-milah persoalan kecil-besar, berat-ringan, maka pada saat itulah, manusi bisa terjerembab pada sikap takabur dan menganggap bahwa hanya dirinya saja yang hebat.

Saya memiliki pengalaman spiritual yang mungkin bagi orang lain merupakan kejadian yang kecil dan tidak berarti. Kejadiannya adalah pada suatu hari libur, saya mengajak keluarga berekreasi ke suatu pusat perbelanjaan besar di Jakarta. Ketika mobil masuk ke halaman parkir, ternyata seluruh halaman parkir sudah penuh sesak, sehingga tidak ada lagi ruang parkir yang tersisa. Setelah mencoba berputar beberapa kali, hasilnya tetap sia-sia. Lalu saya menghentikan mobil disalah satu sisi bersebelahan dengan area parkir dan saya mulai berdoa. Doa yang selalu saya panjatkan urutannya adalah Istigfar, memohon ampun atas semua dosa saya dan keluarga, bersyukur atas segala hal termasuk ketika saya sedang menghadapi masalah, menyampaikan niat/permohonan dan saya tutup dengan doa Tasbih. Selesai berdoa, saya tetap berdzikir dalam hati. Tak lama kemudian, putri sulung saya berkata “Pi, ayo jalan, ngapain berhenti disini”, dengan polos saya menjawab “Biarin aja, papi disuruh Allah menunggu disini”. Pembaca tahu apa yang terjadi setelah percakapan tersebut ? Mobil yang parkir tepat di sisi tempat saya berhenti, keluar dari area parkir, sehingga saya dapat memarkir mobil di tempat yang ditinggalkannya. Subhaanallaah.

Bagi saudara yang membaca tulisan ini, apa yang berkecamuk dalam hati Saudara setelah membaca cerita saya tersebut, saya yakin ada yang mengatakan “itu hanya suatu kebetulan” atau “luar biasa kuasa Allah SWT tak terbatas”. Saya adalah orang yang tidak percaya kepada “kebetulan” karena saya yakin dengan iman, semua yang terjadi dalam kehidupan saya, tidak terlepas dari campur tangan Allah SWT dan yang kedua adalah saya tidak percaya pada “kebetulan”, karena saya berdoa dan saya harus yakin bahwa kejadian itu merupakan jawaban Allah SWT atas doa saya.

Yang lebih berkesan atas kejadian itu adalah, saya diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk mengajarkan kepada anak saya dengan berkata “Anak-anak, kalau kita yakin dan beriman, kita akan selalu diperlihatkan, bahwa dalam persoalan sekecil apapun, Allah SWT memperhatikan dan menyayangi kita” Subhaanallaah.

Saya bersyukur kepada Allah SWT, bahwa saya memperoleh pelajaran yang sangat berarti dalam hidup saya, betapa dalam persoalan yang mungkin bagi sebagian manusia adalah perkara kecil, justru Allah SWT tunjukkan kepada saya, betapa Allah SWT selalu memperhatikan mulai dari hal kecil dalam kehidupan saya.

Manusia adalah tempat khilaf, artinya diri kita tidak pernah luput dari kelupaan, kealpaan, kekeliruan, kesalahan baik disengaja maupun tidak, sehingga jika kita menyadari hakekat bahwa semua kelemahan itu adalah sesuatu yang tidak bisa lepas dari diri kita, maka keberadaan Allah SWT sebagai panutan hidup bagi kita, menjadi begitu penting untuk meminimalisir dan bahkan mengeliminir semua kelemahan yang kita miliki.

Ilmu adalah penting, karena dengan ilmu itulah kita menjadi seorang yang berintelektual dan mampu mengenal Allah SWT secara utuh, akan tetapi kita dilarang menjadikan ilmu sebagai “tuhan” dalam kehidupan kita, karena itu sama saja dengan menyekutukan Allah SWT. Dengan perkataan lain, jadikan lah ilmu sebagai alat atau sarana untuk kita lebih mendekatkan diri kita kepada Allah SWT dengan senantiasa bersyukur atas ilmu yang kita miliki. Keris adalah benda yang dianggap manusia sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan magis, tapi kita harus ingat bahwa tidak ada bedanya antara keris dengan sendok atau garpu, motor, mobil atau apapun. Itu hanya sekedar alat atau sarana yang dibuat manusia, yang diberikan talenta atau bakat oleh Allah SWT untuk menciptakan benda-benda itu agar bisa digunakan dalam kehidupan manusia. Yang kita kagumi adalah, begitu besar kuasa Allah SWT, memberikan kemampuan kepada seorang empu atau pencipta alat-alat tersebut, sehingga mereka mampu menciptakan keris yang begitu indah atau benda-benda lainnya, tidak lebih dari itu. Jika akhirnya keris atau benda-benda itu diagung-agungkan, diperlakukan atau bahkan disembah melebihi ibadah kita kepada Allah SWT, maka kita sudah masuk kepada perbuatan musyrik.

III. MANUSIA TEMPAT KESOMBONGAN
Semua manusia memiliki ego, besar kecilnya tergantung sejauh mana latar belakang pendidikan, pergaulan, luasnya wawasan berpikir dan tentunya KEIMANAN seseorang.

Jika kekhilafan seseorang lebih cenderung terbentuk oleh dorongan nafsu dan emosi yang berasal dari dalam diri, maka kesombongan cenderung lahir dari pengaruh eksternal. Pada umumnya kesombongan timbul karena manusia “merasa” memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang di sekitarnya, apakah itu kekayaan, kepandaian, keturunan (misalnya anggota keluarga pejabat/raja dsb) atau kecantikan/ketampanan dan lainnya.

Ketika kesombongan itu sudah merasuk dalam sifat dan sikap hidup seseorang, maka muncul ego negatif yang mengarahkan manusia pada individualis centris, artinya rasa ke-aku-an manusia tersebut, berubah menjadi “aku manusia paling…” dibanding kelompok manusia lainnya. Apakah manusia itu berubah menjadi atheis (tidak memiliki atau mempercayai adanya Tuhan), belum tentu ! Banyak orang-orang disekitar kita yang mengidap “penyakit” seperti ini. Dari lahiriah, kita akan terkecoh dengan segala prilaku yang menampakkan “ke-saleh-an”nya, tetapi kenyataan yang sebenarnya adalah, sebenarnya orang tersebut menganggap hubungannya dengan Tuhan adalah sesuatu yang bersifat formal belaka, artinya karena lingkungan sosial dimana ia berada, semua beragama, maka selayaknyalah dia pun harus beragama.

Lalu bagimana dengan prilaku IMAN orang tersebut, tentunya KOSONG, karena semua yang dilakukannya hanya bersifat “kosmetik” belaka. Agama dijadikan “alat kecantikan” untuk menutupi ego negatif dalam dirinya. Ciri umum yang seringkali bisa kita lihat dari orang-orang semacam itu adalah, dalam setiap ibadah yang ia lakukan, ia ingin semua orang tahu atau dipublikasikan, senang dipuji jika melakukan ibadah dan sebagainya.

Pada umumnya, akibat kesombongan itu, manusia cenderung menempatkan Allah SWT hanya sebagai “ban serep”, yakni dibutuhkan manakala dia tidak lagi mampu mengatasi persoalan yang dihadapinya dengan kekuatan sendiri. Contoh yang sangat nyata dalam hidup kita akhir-akhir ini adalah koruptor yang sering mengumbar pernyataan yang bernada “menjual” nama Tuhan atau Allah SWT untuk pembenaran atas perbuatannya. Pertanyaannya adalah, apakah pada saat orang tersebut melakukan korupsi, tahukah atau ingatkah dia, bahwa apa yang dilakukannya adalah perbuatan dosa ? Kesombongan akibat kekuasaan dan jabatan telah membutakan hati nurani manusia, sehingga mengalahkan segalanya termasuk keberadaan ajaran agama.

Ilmu tanpa Iman akan berubah menjadi srigala yang ganas. Banyak ilmuwan yang karena kejeniusannya lalu menyepelekan kuasa Allah SWT. Dengan segala kemampuannya, dia mencoba menaklukkan definisi tentang alam semesta dengan teori ilmiah dengan mengenyampingkan kebesaran Allah SWT. Manusia seperti ini, tidak menyadari bahwa sebenarnya kemampuan yang dimilikinya tidak lebih dari segumpal daging yang bernama OTAK, jika dalam satu detik saja, Allah SWT menggeser salah satu syaraf otak tersebut, maka saat itu juga dia akan linglung, bahkan mungkin menjadi lumpuh dan tidak berguna lagi.

Betapa banyak manusia yang mati dengan sia-sia karena kesombongan. Akankah kita membiarkan diri kita diperbudak dengan kesombongan itu dan menempatkan Allah SWT hanya sebagai “ ban serep” di dalam hidup kita ?

IV. MANUSIA TEMPAT TAKABUR
Kita sering terjebak dalam pemikiran tentang pembagian tugas antara manusia dengan Allah SWT. Merasa dirinya mampu, lalu manusia menyusun pembagian tugas yakni kalau persoalan seperti ini adalah urusan saya dan kalau seperti itu adalah urusan Allah SWT. Akibatnya kita tidak pernah mensyukuri nikmat atau hikmah yang kecil-kecil, karena menganggap karena itu adalah hasil dari kemampuannya atau terjadi secara “kebetulan”.

Saya punya banyak pengalaman spiritual yang akan saya ceritakan kepada pembaca, betapa nikmatnya saya pribadi merasakan akan kasih sayang Allah SWT dalam hidup saya.
Pada bulan Ramadhan tahun 2008, sebagaimana aktivitas saya selama bulan suci tersebut, yaitu menyampaikan tausiah Ramadhan ke seluruh cabang-cabang perusahaan di daerah yang saya bawahi. Ketika itu, saya memberikan tausiah di cabang Serang. Waktu menunjukkan sekitar pukul 15.30 berarti kira-kira 2 jam menjelang berbuka puasa. Tiba-tiba timbul keinginan saya untuk minta tolong kepada istri saya untuk membelikan gulai ikan kakap untuk saur esok hari, tapi niat itu saya urungkan karena berpikir kasihan pada istri yang berarti harus keluar rumah hanya sengaja membelikan makanan keinginan saya tersebut. Pikiran dan keinginan tersebut tidak pernah saya ceritakan kepada siapapun. Setelah selesai memberikan tausiah dan berbuka puasa bersama kepala cabang dan karyawan setempat, saya pamit pulang.

Ketika saya diantar menuju mobil, kepala cabang tersebut mengatakan, ada oleh-oleh gulai kepala ikan kakap untuk saya dan sudah dititipkan kepada supir saya. Saat itu saya hanya bisa menangis, pembaca bisa membayangkan, saya tidak berdoa untuk minta gulai kepala ikan kakap kepada Allah SWT, saya hanya punya keinginan yang itupun tidak pernah saya ungkapkan kepada siapapun, tapi Maha Penyayang Allah SWT maha mengetahui segala keinginan hamba NYA. Sekali lagi saya tegaskan, saya tidak percaya kepada “kebetulan”, saya yakini itulah kasih sayang Allah SWT kepada saya dan bahkan kepada pembaca sekalian. Apakah karena saya orang baik, suci, rajin ibadah dan sebagainya. Jawaban saya BUKAN, itu hanya semata-mata kemurahan NYA saja. Subhaanallaah.

Cerita ini membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang kasih sayang Allah SWT kepada manusia, tanpa batas apakah besar-kecil, berat-ringan dan seterusnya.

Perbedaan cerita pengalaman spiritual saya yang pertama dengan yang kedua adalah pada pengalaman yang pertama saya berdoa dengan iman dan pasrah kepada Allah SWT dan Allah SWT menjawab doa saya, sedangkan pengalaman kedua adalah Allah SWT menunjukkan bahwa DIA maha mengetahui apa yang dipikirkan dan diinginkan hamba NYA, walaupun belum atau tidak diungkapkan melalui doa, artinya tidak ada yang tersembunyi dalam diri atau hati kita di hadapan Allah SWT.

Dari dua pengalaman sederhana atau mungkin “kecil” bagi orang lain, hikmah yang paling dalam adalah apalagi yang bisa disombongkan oleh kita sebagai manusia. Semua telanjang di hadapan Allah SWT, masih adakah manusia yang berani takabur di hadapan NYA. Manusia ibarat sebutir pasir di padang gurun, apalah artinya. Semut yang kecil pun disayangi Allah SWT, mereka diberi makan dan tempat tinggal yang terlindung di bawah tanah. Apalagi kita manusia yang dikatakan sebagai makhluk yang paling mulia di hadapan NYA, masihkah kita berani mengecilkan bahkan menyepelekan keberadaan Allah SWT dalam hidup kita, bahkan menjadikan NYA hanya sebagai “ban serep” ?

V. KUASA TANPA BATAS
Ilmu Allah SWT tak bedanya dengan angin, falsafah ini saya dapatkan dari seorang sahabat sekaligus guru spiritual saya. Apa maknanya ? Kita bisa merasakan angin tapi kita tidak pernah bisa melihat dan memegangnya. Falsafah ini sangat luar biasa dalam, karena kita sebagai manusia sebenarnya memiliki keterbatasan dalam berhubungan dengan Allah SWT, tetapi bagi manusia yang hidup dengan IMAN, ia diberi kemampuan untuk mengetahui dan merasakan keberadaan Allah SWT melalui MATA IMAN nya. (Baca uraian tentang hal ini dalam tulisan saya BERDOA DENGAN IMAN).

Kali ini saya akan ceritakan bagaimana saya mencoba mempraktekkan IMAN melalui DOA. Pada saat saya bertanya pada guru saya, apakah saya bisa memindahkan hujan yang akan turun di suatu tempat dengan doa, dia hanya mengatakan bahwa saya bisa ! Asalkan antara NIAT dan IMAN harus berada salam satu garis, insya Allah doa itu akan terkabul.

Jika kita gambarkan sebuah pistol atau senapan, seseorang yang akan menembak, pasti akan mengukur atau menempatkan pisir di ujung senapan dengan celah pisir di belakang pada saat membidik sasaran, jika kedua pisir sudah segaris, maka ketika senapan/pistol ditembakkan, maka akan tepat mengenai sasaran yang dituju. Begitu pula di dalam berdoa, pisir pada ujung laras menggambarkan NIAT dan pisir belakang melukiskan IMAN, jika antara NIAT dan IMAN sudah segaris, insya Allah doa kita dikabulkan oleh Allah SWT berdasarkan rencana Allah SWT. Hal ini penting untuk dipahami, karena manusia cenderung berdoa dan berharap bahwa jawaban dari Allah SWT akan persis sebagaimana skenario yang dia bayangkan atau kehendaki. Tetapi kenyataannya, jawaban Allah SWT berbeda, karena kita harus pahami RENCANA MANUSIA belum tentu RENCANA ALLAH SWT.

Pada suatu sore, cuaca di kota Depok gelap gulita oleh awan hitam dan sebentar lagi akan turun hujan lebat, karena saya mendapat informasi dari beberapa yang hadir di acara tersebut bahwa di luar sekitar kota Depok sudah turun hujan lebat sekali. Saya hanya berpikir, kalau benar hujan lebat akan turun di tempat ini, maka acara akan berantakan.

Mulailah saya berdoa, doa yang sederhana sebagaimana hidayah yang saya dapatkan tentang BERDOA DENGAN IMAN. Saya awali doa dengan mengucapkan Istigfar, memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan yang ada dalam diri saya dilanjutkan saya bersyukur karena ijin Allah SWT saya bisa hadir di acara tersebut, kemudian saya sampaikan niat saya sebagai berikut : “ Ya Allah ya Tuhanku, niat hamba MU memohon ijin dan kuasa MU agar hujan yang akan turun di lokasi ini bisa dipindahkan ke tempat lain yang lebih membutuhkan, namun jangan sampai ada makhluk hidup lain yang menjadi korban karena doa hamba MU ini, hanya kepada MU hamba pasrahkan niat dan doa ini. Amin “. Setelah itu saya membaca Syahadat, Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq dan An Nash dan ditutup dengan doa Tasbih, selesai. Setelah itu saya lanjutkan dengan berdzikir dalam hati.

Tahukah pembaca, apa yang terjadi selanjutnya. Awan hitam yang semula begitu pekat dan menutupi langit, perlahan-lahan bergeser, berpindah dan dalam waktu yang singkat, di lokasi acara tersebut terang benderang, tidak ada satu titik hujan pun yang turun. Subhaanallaah.

Permohonan seperti ini berkali-kali saya praktekkan dan alhamdullilah dikabulkan.

Hebatkah saya ? TIDAK ! itu hanya seijin dari Allah SWT semata. Kenapa saya katakan seperti itu, karena pada saat saya berdoa, saya menyampaikan perhohonan IJIN dan KUASA dari Allah SWT atas doa itu. Hakikatnya, jika kita meminta ijin berarti kita sudah harus siap menerima segala konsekuensi jawabannya, yakni kemungkinan DIIJINKAN atau DITOLAK, berarti sejak awal dalam doa tersebut sudah terkandung kepasrahan saya kepada Allah SWT. Soal dikabulkan atau tidak permohonan itu, hanya Allah SWT yang tahu jawabannya.

Apa esensi dari pengalaman spiritual ini, dengan segala keterbatasan yang ada pada diri manusia, Allah SWT tetap memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengenal rahasia Allah melalui IMAN sekali lagi IMAN, tidak ada yang lain.

Apakah pengalaman spiritual yang saya alami hanya berlaku pada mencegah turunnya hujan. Tentu tidak, Allah SWT memberikan ijin kepada saya untuk mengalami pengalaman spiritual itu, untuk menunjukkan bahwa Allah SWT memiliki kuasa tanpa batas di dalam kehidupan kita. Sejak memperoleh pengalaman seperti itu, saya juga mencoba mengobati dengan cara seperti itu, yakni dengan IMAN dan KEPASRAHAN, karena saya tahu, saya hanya hamba NYA yang memohon ijin dan kuasa NYA, selebihnya adalah KUASA ALLAH SWT yang bekerja. Subhaanallaah.

VI. OBAT DALAM KEHIDUPAN
Jaman terus berubah, kehidupan manusia semakin kompleks dan sulit. Bencana terus mengintai, kejahatan semakin merajalela dan tuntutan kebutuhan ekonomi semakin sulit. Manusia panik mencari sesuatu yang tidak ada, dukun, paranormal, dan peramal mendadak laris. Kita terbelenggu oleh ketakutan sendiri, kuatir tidak mampu menghadapi masa depan, takut tidak dapat menghidupi anak dan istri. Timbullah gejala kejiwaan seseorang yang frustrasi dan mengambil jalan pintas dengan bunuh diri dan sebagainya.

Fenomena ini akan semakin menggila di akhir jaman, manusia kehilangan kendali, dikejar nafsunya sendiri dan seterusnya sampai akhirnya mati dengan sia-sia. Keputusasaan itu menunjukkan gejala manusia sudah begitu jauhnya dari Tuhan, Allah SWT.

Cerita tentang pengalaman spiritual yang saya alami di atas sebenarnya telah memberikan kita kesaksian yang hidup bahwa di dunia ini manusia tidak sendiri. Ada dzat yang dinamakan Allah SWT, Tuhan yang kita panggil dengan Allahu Akhbar, Tuhan Yang Maha Besar yang setia selama 24 jam menemani, menyayangi dan melindungi kita, tanpa henti dan gratis.

Sakit penyakit, bencana alam, kebangkrutan usaha, kehancuran rumah tangga, keputusasaan, kesedihan, krisis ekonomi global dan apapun namanya yang kita alami. Apakah DIANTARA SEMUA ITU ADA YANG LEBIH BESAR DARI KUASA ALLAH SWT ??? Jika jawabannya tidak, lalu apa yang kita kuatirkan sehingga kita harus menyekutukan Allah SWT dengan mendatangi dan meminta pertolongan kepada dukun dan sebagainya.

Saya akan bercerita tentang pengalaman spiritual saya ketika saya sakit keras pada tahun 2002 dan hampir tak terselamatkan. Ketika itu saya merasakan sesak nafas dan demam tinggi yang tidak bisa surut selama hampir 1 bulan dan sudah dirawat di 2 rumah sakit serta ditangani oleh dokter-dokter spesialis di bidangnya, tanpa ada satu hasil apapun bahkan semua diagnose terhadap sakit saya keliru, ada yang mengatakan saya sakit ginjal, paru-paru, flu berat dan sebagainya. Beberapa kerabat dan rekan agar saya berobat ke luar negeri, tapi karena pertimbangan keuangan hal itu mustahil saya lakukan. Kondisi semakin parah karena selain sesak nafas, demam tinggi, saya pun sudah mulai kehilangan memori ingatan. Dalam hitungan menit ketika saya selesai melayani tamu yang menjenguk, seketika itu saya lupa siapa yang datang menjenguk, padahal itu baru terjadi beberapa menit yang lalu. Entah berapa biaya yang sudah dikeluarkan untuk upaya pengobatan itu. Segala upaya sudah dilakukan, sampai satu saat, salah satu teman dekat saya, membawa saya kepada seorang paranormal (waktu itu saya belum mendapat hidayah tentang BERDOA DENGAN IMAN), jadi kemanapun saya dibawa, asal untuk kesembuhan, saya jalani. Paranormal itu seorang wanita separuh baya. Setelah berdoa sejenak, paranormal itu hanya berkata singkat “Orang ini memang diguna-guna orang tetapi dia sendiri juga ada sakit, tapi sudahlah tidak usah kuatir, orang ini ada dewa penolongnya (dalam istilah Cina, disebutkan bahwa saya punya Qui Jin artinya Dewa Penolong). Hanya itu yang diucapkannya. Sekembali kerumah saya bingung siapa dewa penolong yang dimaksud, karena sakit yang semakin parah, saya tidak mengingat lagi ucapan paranormal itu.

Selang dua hari setelah ucapan paranormal itu, tiba-tiba saya dipanggil oleh pimpinan perusahaan tempat saya bekerja dan beliau hanya mengatakan “besok kamu buat passport dan lusa ikut saya ke Singapura untuk berobat”. Begitu parahnya sakit saya, sampai-sampai selama perjalanan dari rumah sampai di airport Changi di Singapura, mata saya terbuka, tapi tidak ada satupun peristiwa yang saya ingat. Begitu pula dokter di Singapura mengatakan bahwa saya ini sudah gila, bagaimana mungkin demam setinggi 40 derajat dibiarkan sebulan dan baru dibawa setelah kritis seperti itu, hasil diagnose, diketahui bahwa penyebab demam tersebut adalah klep jantung yang infeksi dan termakan virus, pernyataan dokter jika saya terlambat 1 hari lagi, maka hanya ada 2 kemungkinan, yakni stroke (lumpuh total) atau meninggal. Yang istimewa dari kejadian ini adalah karena selama ini orang mengenal pimpinan saya sebagai figur yang keras, sangat tegas dan workoholic. Karena pertolongan Allah SWT melalui pimpinan saya tersebut, nyawa saya terselamatkan. Subhaanallaah.

Apa hikmah dari kisah sakit saya ini, pertolongan Allah SWT bisa datang melalui siapapun bahkan dari orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya artinya Allah SWT memiliki kuasa tanpa batas di dalam menjawab doa kita dan tidak akan pernah dapat kita terka jalan NYA.

Jawaban yang Allah SWT berikan kepada saya dengan pembaca mungkin berbeda walaupun persoalan yang dihadapi serupa, jalan yang diberikan tidak selalu sama, tetapi akhir dari jawaban itu pasti sama, yakni kita merasakan kuasa Allah SWT yang luar biasa. Suatu pengalaman spiritual yang takkan terlupakan selama hidup.

Situasi dan kondisi lingkungan, masyarakat, bangsa, Negara, ekonomi, beban hidup kita semakin berat, akankah kita terus mencari kambing hitam untuk sekedar pembenaran atau saling menyalahkan hanya ingin merasa menang.

Mulailah dengan sesuatu yang benar, mengajak keluarga, istri dan anak-anak kita untuk bersimpuh dan sujud di hadapan Allah SWT, ber-igstifar memohon ampun atas segala dosa kesalahan kita dan keluarga serta para pemimpin bangsa kita, bersyukurlah bahwa Allah SWT masih memberikan kepada kita keadaan yang jauh lebih baik dibandingkan orang lain yang lebih menderita di sekitar kita, sampaikan niat dan permohonan berupa petunjuk, hidayah dan jalan keluar terbaik yang jika dikabulkan, akan lebih mendekatkan kita kepada Allah SWT dan Rasullullah serta akhirnya pasrahkanlah semua doa dan permohonan itu hanya pada kuasa Allah SWT.

Saya berkeyakinan, tidak ada doa yang tidak dijawab, karena waktunya adalah waktu Allah SWT. Hanya Allah SWT yang tahu kapan akan menjawab doa kita. Jangan kalah sebelum berperang, belum mencoba, kita sudah mengatakan susah, karena kita tahu doa seperti apa yang diterima Allah SWT. Memang kita tidak akan pernah tahu hal itu, tapi ingat kita diberi MATA IMAN oleh Allah SWT, untuk mengenal bahwa Allah SWT itu hidup dan mendengarkan doa kita. WAKTU atau KAPAN dan JAWABAN seperti apa yang diberikan Allah SWT kepada kita, hanya DIA yang mengetahuinya, maka kita dituntut PASRAH dan TAWAKAL.

VII. PENUTUP
Tulisan ini mengajak kita untuk kembali kepada fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia boleh berusaha namun pada akhirnya Tuhan jualah yang memutuskan.

Kekuatiran, ketakutan dan sebagainya adalah sesuatu yang manusiawi terjadi dalam kehidupan kita, namun yang jangan pernah dilupakan, bahwa kita memiliki Tuhan yang kita kenal dengan Allah SWT, Allahu Akhbar, yang terus menerus mengawasi dan menolong kita dan tidak pernah jauh dari kita.

Di dalam doa, DIA bersama kita. Didalam kekuatiran, Allah SWT selalu memberikan kita kekuatan. Didalam ketakutan, Allah SWT adalah perisai kita. Didalam kesedihan, DIA selalu membelai dan menghibur kita. Didalam kebuntuan, Allah SWT menerangi dan membukakan jalan untuk kita. Didalam kedinginan, DIA akan memeluk dan menghangatkan kita. Bahkan dalam kematian kita pun, DIA menantikan dan menyambut kita dengan senyum. Subhaanallaah. Masihkan ada yang lebih besar dari KUASA NYA. Subhaanallaah.

Sekali lagi ! Ingatlah selalu pesan ini dan jangan pernah kita lupakan. “Persoalan sebesar apapun yang kita hadapi dalam hidup ini, TIDAK ADA YANG LEBIH BESAR DARI KUASA ALLAH SWT” karena :

“Innama amruhuu idzaa araada syai-an yaquulalahuu kun fayakuun” (Sesungguhnya keadaan–Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya ‘Jadilah !’ maka terjadilah ia)


Bogor, 18 November 2008
Pimpin Nagawan

BERKORBAN DENGAN BERQURBAN

I. PENDAHULUAN

Pada hari raya Idhul Adha sebagai umat muslim yang memiliki niat dan kemampuan dalam hal materi melakukan pemotongan hewan qurban, secara umum tampaknya apa yang terjadi pada hari itu adalah kegembiraan semata, dimana setelah selesai melaksanakan ibadah sholat ied, maka masyarakat berduyun-duyun menyaksikan prosesi pemotongan hewan qurban, selesai pemotongan hewan maka daging qurban pun dibagikan kepada masyarakat yang masing-masing sudah memiliki kupon hasil pembagian para perangkat RT/RW atau panitia yang telah dibentuk sebelumnya. Masing-masing keluarga yang menerima hewan qurban mengolah berdasarkan versi masing-masing. Terlihat sekelompok masyarakat berkumpul, membuat sate, gulai dan sebagainya, lalu dengan gembira menyantapnya bersama. Selesai.

Sekilas semua berjalan normal, ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati penulis berkaitan azas dari pelaksanaan pemotongan qurban dan hakekat dasar dari qurban, yang bagi penulis memiliki makna dan falsafah yang sangat mendalam terutama bagi kita umat Islam, apabila kita memahami secara benar akan hal tersebut.

Setiap merayakan hari raya Idhul Adha sebenarnya kita diajak merenung dan berintrospeksi terhadap suatu kata “berkorban”, yang memiliki arti harafiah sangat dalam, ketimbang daging qurban yang sudah masuk ke dalam perut dengan berbagai cita rasa dan aroma.

Sangat disayangkan, bahwa hal yang sangat penting justru jarang dibahas dan diajarkan secara khusus kepada umat Islam, sehingga mereka memahami arti “qurban” secara lebih mendalam. Penulis yakin, apabila pengertian dan pemahaman tentang arti harafiah “qurban” ini jika diajarkan dan disampaikan dan mereka memahaminya, tak akan ada lagi “orang yang tidak berhak atas qurban” itu berani atau tega untuk ikut menikmatinya.

Tulisan ini, sebagaimana tulisan yang lalu, merupakan sesuatu yang penulis dapatkan melalui hidayah yang Allah SWT berikan, bukan semata-mata kehebatan penulis. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, penulis hanya sebagai alat yang digunakan NYA untuk menyampaikan kebenaran dan kebaikan bagi sesame umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Semoga kritik dan saran dari pembaca, akan menjadi obat yang membuat penulis semakin merendahkan hati di hadapan Allah SWT. Amin Ya Robbal Allamin.

II. BERKORBAN

Kata berkorban berupakan kata kerja dengan kata dasar “korban”, asasnya jika kita menyimak arti kata “korban”, maka hampir bisa dipastikan merupakan suatu peristiwa yang tidak enak. Jika didefinisikan, korban bisa merupakan subjek ataupun objek atas suatu kejadian dan umumnya akibat yang dialami oleh subjek atau objek tersebut adalah tidak enak.

Jika kita “berkorban” artinya ada sebagian kecil atau besar kenikmatan yang kita miliki menjadi berkurang karena kita telah melakukan pengorbanan atas sesuatu yang kita miliki untuk sesuatu atau seseorang.

Ada sepasang muda-mudi yang sedang pacaran dan terdengar ungkapan “cinta itu adalah pengorbanan”, mengapa seperti itu, karena pada saat kita memutuskan untuk menyayangi atau mencintai seseorang, maka ada sebagian kesenangan yang biasanya ia nikmati sendiri sekarang harus berbagi dengan sang kekasih.
Berita utama sebuah surat kabar memuat “Sejumlah korban tewas tak dapat dikenali akibat kebakaran yang menghanguskan sebuah hotel”. Berita ini juga berkisah tentang “korban” akibat dari suatu kejadian.

Sehingga ketika seseorang memutuskan dirinya akan “berkorban”, maka orang tersebut sudah siap baik fisik, mental serta maupun materinya serta ikhlas untuk kehilangan sesuatu yang ada pada dirinya, tanpa menuntut untuk memintanya kembali.

Coba kita simak analogi ini. Hati saya tersentuh ketika melihat seorang pengemis kecil kelaparan, saya membuka dompet dan menemukan uang yang hanya Rp.5.000,-. Dengan niat baik, saya pergi membeli sebungkus nasi beserta lauk pauk senilai Rp.5000,- lalu ketika nasi itu akan saya berikan kepada anak tersebut, saya berpesan, ini ada nasi dan lauk pauknya, agar jangan dihabiskan semua, karena saya juga mau ikut makan.

Pertanyaannya adalah dimana letak “pengorbanan” saya dalam konteks cerita tersebut ? Pada alinea di atasnya, telah dikatakan bahwa asas dari “berkorban” adalah KEIKHLASAN, keikhlasan berarti 100% rela tanpa ada embel-embel kata “tetapi atau asal”. Misalnya saya ingin bersedekah TETAPI atau ASAL dengan catatan saya bisa masuk surga.

Dari berbagai pengertian yang telah penulis sampaikan di atas, maka sekarang kita mulai memahami mengapa “berkorban” itu ternyata tidak mudah. Jika kita berbuat sesuatu dan masih disertai dengan PAMRIH (ingin mendapat imbalan), maka perbuatan tersebut belum dapat dikategorikan sebagai “berkorban”.

III. BERQURBAN ADALAH KESETIAAN

Melaksanakan qurban memiliki makna yang bukan sekedar memotong hewan lalu membagikan kepada masyarakat untuk disantap. Qurban memiliki makna filosofi yang sangat mendalam, yakni “KESETIAAN”.

Ingat bahwa asal muasalnya perayaan Idhul Adha atau sering juga disebut sebagai Idhul Qurban adalah ketika Allah SWT menguji “KESETIAAN” Nabi Ibrahim A.S, kepada Allah SWT dengan menyerahkan putra yang sangat dicintainya Ismail kepada Allah SWT sebagai qurban. Allah SWT ingin mengetahui hati dan perasaan Nabi Ibrahim A.S, apakah ia lebih mencintai anaknya ataukah Allah SWT.

Hal ini yang penulis maksudkan pada awal tulisan ini, bahwa “berqurban” tidak sesederhana yang kita bayangkan dan lakukan selama ini. Manusia sering terperosok pada kesetiaan semu kepada “TUAN” ketimbang kesetiaan yang sesungguhnya kepada “TUHAN” Allah SWT. Mengapa ? karena manusia menganggap “TUAN” sebagai majikan lahiriah sedangkan “TUHAN” sebagai majikan rohaniah. Sifat buruk manusia yang sering membagi peran antara “TUAN” dan “TUHAN” inilah, mengakibatkan manusia hanya mencari “TUHAN” setelah “TUAN” nya tidak lagi mampu menolong dirinya.

Di jaman seperti sekarang ini, makna qurban mengingatkan manusia, apakah masih ada “KESETIAAN” kita kepada Allah SWT, apakah didalam kita beribadah kita masih bertransaksi dengan Allah SWT dengan mengharapkan imbalan berupa PAHALA ?

Keikhlasan kita dalam beribadah apakah sholat, bersedekah, beramal dan sebagainya, apakah sudah dilakukan dengan iman dan ikhlas ? Ataukah kita masih menunaikan ibadah, karena kita ingat pesan ustadz, bahwa jika kita beribadah ini atau itu, akan mendapat pahala sebesar ini dan itu ? jika ibadah kita masih berlandaskan adanya PAHALA semata, maka kita patut bertanya dimana “KESETIAAN” kita kepada Allah SWT, sebagaimana yang telah ditunjukkan Nabi Ibrahim A.S.

Jangankan anak kita yang diminta agar diqurbankan untuk Allah SWT, untuk beribadah saja, kita masih berpamrih meminta upah “pahala” kepada Allah SWT.

Dengan memahami arti pertama dari berqurban, maka kita akan lebih memaknai perayaan Idhul Qurban secara lebih khusyuk, tidak sekedar bergembira karena memperoleh bagian dari hewan yang dijadikan qurban.

IV. BERQURBAN ADALAH BERBAGI

Makna lain dari ibadah berqurban adalah “BERBAGI” artinya memberikan sebagian kenikmatan yang kita miliki bagi orang lain yang kurang mampu.

Pada dasarnya perintah berqurban itu ditujukan kepada semua orang, simaklah hadits berikut ini :

“Sesungguhnya Kami telah memberimu (hai Muhammad) nikmat yang banyak. Maka sholatlah untuk Tuhanmu dan sembelilah (hewan korban)”. (QS.108/Al Kautsar:1-2).

Sabda Nabi Muhammad SAW “Barangsiapa yang memiliki kemampuan tetapi tidak berkorban, maka janganlah ia menghampiri tempat shalat kami”. (HR.Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Huroiroh).

Jika makna awal berqurban adalah KESETIAAN, maka perubahan jaman juga menyebabkan pergeseran pengertian yang lebih komprehensif atau luas pengertiannya, yakni membantu orang-orang yang kurang mampu dalam melaksanakan qurban.

Banyak masyarakat di lingkungan kita yang untuk menikmati daging saja harus menunggu saat perayaan Idhul Adha, karena ketidakmampuan ekonomi.

Idhul Adha adalah waktu yang tepat, bagi kita yang mampu untuk “berbagi” dengan mereka.

Siapa saja orang yang dikategorikan mampu dalam hal ini ? Dia tidak perlu orang kaya, karena berqurban bisa dilakukan, orang yang “tidak kaya” yakni dengan cara kolektif atau urunan, yang penting adalah IKHLAS. Tidak ada dalih apapun yang bisa dijadikan sebagai alasan bagi kita untuk tidak berqurban, karena jika kita ingat KESETIAAN kepada Allah SWT dan BERBAGI bagi sesama yang tidak mampu.

V. BERQURBAN ADALAH KEIKHLASAN

Untuk mampu melaksanakan ibadah qurban, seseorang harus memiliki keikhlasan. Sama dengan berkorban jika seseorang berkorban untuk sesuatu hal yang ia yakini, maka hal itu pasti ia lakukan dengan sukarela tanpa tuntutan atau pamrih.

Untuk dapat bersikap ikhlas, bukan suatu yang mudah, karena pada hakekatnya, manusia sudah terbiasa dengan segala hal yang sifatnya transaksional.

Ikhlas adalah tanpa pamrih, sehingga untuk sesuatu yang dalam perhitungan tidak mendatangkan keuntungan, umumnya sulit untuk diterima. Manusia sudah dikuasai dunia yang serba kapitalis, tidak ada lagi yang gratis, semua harus bayar. Sampai dengan membuat hajat saja, kita diwajibkan untuk membayar.

Pengaruh hal semacam itu dalam kehidupan, telah menggiring kita pada sikap yang sama, yakni pada saat berhubungan dengan Allah SWT. Tidak kurang manusia yang mengejar beribadah karena iming-iming PAHALA.
Pada ibadah qurban, yang dituntut adalah keikhlasan semata. Tanpa keikhlasan ibadah itu hanya menjadikan manusia yang bertopeng kemunafikan. Bisa dibayangkan seorang yang “merasa” dirinya mampu berqurban, melaksanakan ibadah qurban hanya untuk dipuji oleh orang lain. Orang semacam ini akan “bersaing” untuk beribadah dengan orang yang sejenis dengan dia. Misalnya si A berqurban seekor kambing, mendengar hal itu si B tidak mau kalah akan berqurban seekor sapid an begitu seterusnya.

Itukah yang disebut beribadah ? Kita menjalankan ibadah apapun, salah satunya ibadah qurban, untuk mencari ridho Allah SWT, menunjukkan KESETIAAN kita kepada Allah SWT serta BERBAGI dengan orang-orang yang tidak mampu, bukan untuk bersaing mencari kepuasan duniawi, dengan berbagai pujian yang malah akan menjerumuskan kita pada kesesatan.

Manusia yang mampu beribadah dengan keikhlasan akan merasakan kenikmatan yang luar biasa, mata hatinya akan terus dibukakan oleh Allah SWT, untuk melihat dan menikmati rasa syukur yang tak habis-habisnya. Nikmatilah kebahagiaan ketika kita suatu saat bisa bertatap mata dan menyerahkan secara langsung sedekah kepada anak yatim, di mata mereka kita bisa melihat, kebesaran dan kasih sayang Allah SWT. Subhaanallaah.

VI. BERKORBAN DENGAN BERQURBAN

Berqurban adalah ibadah, jika dilakukan tanpa didasari dengan iman maka manusia akan merasa menjadi “korban”, karena pada awal tulisan ini, penulis sudah sampaikan, bahwa jika perbuatan apapun bentuknya, jika di dalam hatinya terdapat ketidakrelaan atau ketidakikhlasan, maka perbuatan itu akan menyiksa batinnya. Perbuatan itu dilakukan karena keterpaksaan belaka. Akhirnya “pengorbanan” yang dilakukannya malah menjadikan dirinya sebagai “korban” keterpaksaan.

Ketika seseorang ingin ikut melaksanakan ibadah qurban, ia harus memahami benar bahwa apa yang diberikan bagi orang lain itu akan beralih sepenuhnya, artinya ia harus melepaskan haknya untuk diberikan secara ikhlas kepada orang lain, tanpa ia memiliki hak untuk ikut menikmati atau memintanya kembali.

Kesalahkaprahan yang saat ini terjadi di dalam masyarakat, khususnya umat Islam dalam ibadah qurban adalah antara orang yang berqurban (artinya mereka yang sebenarnya mampu dan berpenghasilan) dengan masyarakat yang menerima qurban saling berebut, ironisnya adalah orang yang akan berqurban sudah memesan kepada petugas yang memotong hewan qurban, bagian-bagian dari tubuh hewan qurban yang ia inginkan.

Kejadian seperti ini dapat kita temukan hampir di semua tempat pemotongan hewan qurban dan seolah-olah hal seperti itu sudah menjadi tradisi bahkan kebiasaan bagi orang yang berqurban.

Jika demikian halnya, dimana letak esensi kita dalam berqurban, bukankah ini adalah contoh yang penulis gambarkan di bab sebelumnya, yakni “berqurban dengan pamrih”

Penulis ingin kita menyimak dan memahami arti berqurban secara hakiki, perbandingan sudah disampaikan pada bab tentang BERKORBAN di atas.

Berqurban bukan sekedar kita mampu dan memiliki uang untuk membeli hewan qurban untuk disembelih dan dibagikan kepada orang lain, lalu perbuatan itu sudah bisa disebut sebagai “BERQURBAN”.

Janganlah sampai kita berbuat seolah-olah kita sudah beribadah, ternyata perbuatan itu hanya sia-sia, seperti orang yang berangan-angan untuk meng-asin-kan laut dengan membuang garam ke laut, ternyata percuma.

Berqurban identik dengan berkorban. Setiap orang yang berniat untuk melaksanakan ibadah qurban, harus mempersiapkan fisik, mental dan spiritualnya, karena akan ada sesuatu yang hilang atau berkurang pada dirinya pada saat berqurban, misalnya yang paling terasa adalah sejumlah uang yang digunakan untuk membeli hewan qurban atau menahan nafsu untuk tidak menginginkan sedikitpun dari apa yang sudah ia korbankan untuk berqurban.

Minimal ada dua hal yang menjadi esensi manusia dalam melaksanakan ibadah qurban, yaitu :

1. Dengan berqurban kita menyatakan KESETIAAN kita kepada Allah SWT, bahwa walaupun kita telah diberkati dengan rejeki yang cukup atau berlimpah, kita TIDAK DIPERBUDAK OLEH UANG, kita tetap ingat bahwa di dalam rejeki yang diberikan Allah SWT, ada sebagian kecil milik kaum dhuafa dan anak yatim, sehingga kita wajib berbagi dengan mereka, salah satunya melalui qurban;
2. Dengan berqurban kita menyatakan KEIKHLASAN kita, dengan mengorbankan sebagian dari kenikmatan yang kita miliki, untuk dinikmati orang yang tidak mampu berqurban, sebagai rasa syukur atas semua kelebihan yang telah diberikan Allah SWT kepada kita selama ini.

VII. PENUTUP

Dengan telah dipahaminya hakekat ibadah qurban, jangan terjadi lagi orang yang kaya, mampu, berpenghasilan ingin ikut menikmati hewan qurban. Alasannya adalah
1. Yang pertama adalah MALU, kita yang seharusnya melaksanakan qurban untuk kaum dhuafa dan anak yatim, malah ikut menjadi benalu, dengan ikut berebut hewan qurban;
2. Mari kita belajar, sekecil apapun penghasilan yang kita miliki, syukurilah. Sekecil apapun sedekah yang kamu kumpulkan untuk ikut melaksanakan qurban secara urunan dg orang lain, nikmatilah sebagai anugerah yang luar biasa yang diberikan Alah SWT,tidak perlu berkecil hati. Dari yang kecil inilah, kita imani, Insya Allah, Allah SWT akan menambahkan rezeki kita, sehingga suatu saat, kita akan mampu melaksanakan qurban utuh sendiri tanpa harus urunan;

Penulis berdoa, semoga tulisan pendek ini akan menggugah setiap umat Islam yang “berpenghasilan dan mampu” agar tidak lagi ikut berebut hewan qurban bersama dengan kaum dhuafa dan anak yatim di hari Idhul Adha dan bagi mereka yang belum mampu berqurban karena ketidakmampuan ekonomi, insya Allah, suatu saat dimampukan oleh Allah SWT untuk berqurban.Amin ya robbal allamin.

Bogor,23 November 2008
Pimpin Nagawan