Selasa, 02 Desember 2008

BERKORBAN DENGAN BERQURBAN

I. PENDAHULUAN

Pada hari raya Idhul Adha sebagai umat muslim yang memiliki niat dan kemampuan dalam hal materi melakukan pemotongan hewan qurban, secara umum tampaknya apa yang terjadi pada hari itu adalah kegembiraan semata, dimana setelah selesai melaksanakan ibadah sholat ied, maka masyarakat berduyun-duyun menyaksikan prosesi pemotongan hewan qurban, selesai pemotongan hewan maka daging qurban pun dibagikan kepada masyarakat yang masing-masing sudah memiliki kupon hasil pembagian para perangkat RT/RW atau panitia yang telah dibentuk sebelumnya. Masing-masing keluarga yang menerima hewan qurban mengolah berdasarkan versi masing-masing. Terlihat sekelompok masyarakat berkumpul, membuat sate, gulai dan sebagainya, lalu dengan gembira menyantapnya bersama. Selesai.

Sekilas semua berjalan normal, ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati penulis berkaitan azas dari pelaksanaan pemotongan qurban dan hakekat dasar dari qurban, yang bagi penulis memiliki makna dan falsafah yang sangat mendalam terutama bagi kita umat Islam, apabila kita memahami secara benar akan hal tersebut.

Setiap merayakan hari raya Idhul Adha sebenarnya kita diajak merenung dan berintrospeksi terhadap suatu kata “berkorban”, yang memiliki arti harafiah sangat dalam, ketimbang daging qurban yang sudah masuk ke dalam perut dengan berbagai cita rasa dan aroma.

Sangat disayangkan, bahwa hal yang sangat penting justru jarang dibahas dan diajarkan secara khusus kepada umat Islam, sehingga mereka memahami arti “qurban” secara lebih mendalam. Penulis yakin, apabila pengertian dan pemahaman tentang arti harafiah “qurban” ini jika diajarkan dan disampaikan dan mereka memahaminya, tak akan ada lagi “orang yang tidak berhak atas qurban” itu berani atau tega untuk ikut menikmatinya.

Tulisan ini, sebagaimana tulisan yang lalu, merupakan sesuatu yang penulis dapatkan melalui hidayah yang Allah SWT berikan, bukan semata-mata kehebatan penulis. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, penulis hanya sebagai alat yang digunakan NYA untuk menyampaikan kebenaran dan kebaikan bagi sesame umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Semoga kritik dan saran dari pembaca, akan menjadi obat yang membuat penulis semakin merendahkan hati di hadapan Allah SWT. Amin Ya Robbal Allamin.

II. BERKORBAN

Kata berkorban berupakan kata kerja dengan kata dasar “korban”, asasnya jika kita menyimak arti kata “korban”, maka hampir bisa dipastikan merupakan suatu peristiwa yang tidak enak. Jika didefinisikan, korban bisa merupakan subjek ataupun objek atas suatu kejadian dan umumnya akibat yang dialami oleh subjek atau objek tersebut adalah tidak enak.

Jika kita “berkorban” artinya ada sebagian kecil atau besar kenikmatan yang kita miliki menjadi berkurang karena kita telah melakukan pengorbanan atas sesuatu yang kita miliki untuk sesuatu atau seseorang.

Ada sepasang muda-mudi yang sedang pacaran dan terdengar ungkapan “cinta itu adalah pengorbanan”, mengapa seperti itu, karena pada saat kita memutuskan untuk menyayangi atau mencintai seseorang, maka ada sebagian kesenangan yang biasanya ia nikmati sendiri sekarang harus berbagi dengan sang kekasih.
Berita utama sebuah surat kabar memuat “Sejumlah korban tewas tak dapat dikenali akibat kebakaran yang menghanguskan sebuah hotel”. Berita ini juga berkisah tentang “korban” akibat dari suatu kejadian.

Sehingga ketika seseorang memutuskan dirinya akan “berkorban”, maka orang tersebut sudah siap baik fisik, mental serta maupun materinya serta ikhlas untuk kehilangan sesuatu yang ada pada dirinya, tanpa menuntut untuk memintanya kembali.

Coba kita simak analogi ini. Hati saya tersentuh ketika melihat seorang pengemis kecil kelaparan, saya membuka dompet dan menemukan uang yang hanya Rp.5.000,-. Dengan niat baik, saya pergi membeli sebungkus nasi beserta lauk pauk senilai Rp.5000,- lalu ketika nasi itu akan saya berikan kepada anak tersebut, saya berpesan, ini ada nasi dan lauk pauknya, agar jangan dihabiskan semua, karena saya juga mau ikut makan.

Pertanyaannya adalah dimana letak “pengorbanan” saya dalam konteks cerita tersebut ? Pada alinea di atasnya, telah dikatakan bahwa asas dari “berkorban” adalah KEIKHLASAN, keikhlasan berarti 100% rela tanpa ada embel-embel kata “tetapi atau asal”. Misalnya saya ingin bersedekah TETAPI atau ASAL dengan catatan saya bisa masuk surga.

Dari berbagai pengertian yang telah penulis sampaikan di atas, maka sekarang kita mulai memahami mengapa “berkorban” itu ternyata tidak mudah. Jika kita berbuat sesuatu dan masih disertai dengan PAMRIH (ingin mendapat imbalan), maka perbuatan tersebut belum dapat dikategorikan sebagai “berkorban”.

III. BERQURBAN ADALAH KESETIAAN

Melaksanakan qurban memiliki makna yang bukan sekedar memotong hewan lalu membagikan kepada masyarakat untuk disantap. Qurban memiliki makna filosofi yang sangat mendalam, yakni “KESETIAAN”.

Ingat bahwa asal muasalnya perayaan Idhul Adha atau sering juga disebut sebagai Idhul Qurban adalah ketika Allah SWT menguji “KESETIAAN” Nabi Ibrahim A.S, kepada Allah SWT dengan menyerahkan putra yang sangat dicintainya Ismail kepada Allah SWT sebagai qurban. Allah SWT ingin mengetahui hati dan perasaan Nabi Ibrahim A.S, apakah ia lebih mencintai anaknya ataukah Allah SWT.

Hal ini yang penulis maksudkan pada awal tulisan ini, bahwa “berqurban” tidak sesederhana yang kita bayangkan dan lakukan selama ini. Manusia sering terperosok pada kesetiaan semu kepada “TUAN” ketimbang kesetiaan yang sesungguhnya kepada “TUHAN” Allah SWT. Mengapa ? karena manusia menganggap “TUAN” sebagai majikan lahiriah sedangkan “TUHAN” sebagai majikan rohaniah. Sifat buruk manusia yang sering membagi peran antara “TUAN” dan “TUHAN” inilah, mengakibatkan manusia hanya mencari “TUHAN” setelah “TUAN” nya tidak lagi mampu menolong dirinya.

Di jaman seperti sekarang ini, makna qurban mengingatkan manusia, apakah masih ada “KESETIAAN” kita kepada Allah SWT, apakah didalam kita beribadah kita masih bertransaksi dengan Allah SWT dengan mengharapkan imbalan berupa PAHALA ?

Keikhlasan kita dalam beribadah apakah sholat, bersedekah, beramal dan sebagainya, apakah sudah dilakukan dengan iman dan ikhlas ? Ataukah kita masih menunaikan ibadah, karena kita ingat pesan ustadz, bahwa jika kita beribadah ini atau itu, akan mendapat pahala sebesar ini dan itu ? jika ibadah kita masih berlandaskan adanya PAHALA semata, maka kita patut bertanya dimana “KESETIAAN” kita kepada Allah SWT, sebagaimana yang telah ditunjukkan Nabi Ibrahim A.S.

Jangankan anak kita yang diminta agar diqurbankan untuk Allah SWT, untuk beribadah saja, kita masih berpamrih meminta upah “pahala” kepada Allah SWT.

Dengan memahami arti pertama dari berqurban, maka kita akan lebih memaknai perayaan Idhul Qurban secara lebih khusyuk, tidak sekedar bergembira karena memperoleh bagian dari hewan yang dijadikan qurban.

IV. BERQURBAN ADALAH BERBAGI

Makna lain dari ibadah berqurban adalah “BERBAGI” artinya memberikan sebagian kenikmatan yang kita miliki bagi orang lain yang kurang mampu.

Pada dasarnya perintah berqurban itu ditujukan kepada semua orang, simaklah hadits berikut ini :

“Sesungguhnya Kami telah memberimu (hai Muhammad) nikmat yang banyak. Maka sholatlah untuk Tuhanmu dan sembelilah (hewan korban)”. (QS.108/Al Kautsar:1-2).

Sabda Nabi Muhammad SAW “Barangsiapa yang memiliki kemampuan tetapi tidak berkorban, maka janganlah ia menghampiri tempat shalat kami”. (HR.Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Huroiroh).

Jika makna awal berqurban adalah KESETIAAN, maka perubahan jaman juga menyebabkan pergeseran pengertian yang lebih komprehensif atau luas pengertiannya, yakni membantu orang-orang yang kurang mampu dalam melaksanakan qurban.

Banyak masyarakat di lingkungan kita yang untuk menikmati daging saja harus menunggu saat perayaan Idhul Adha, karena ketidakmampuan ekonomi.

Idhul Adha adalah waktu yang tepat, bagi kita yang mampu untuk “berbagi” dengan mereka.

Siapa saja orang yang dikategorikan mampu dalam hal ini ? Dia tidak perlu orang kaya, karena berqurban bisa dilakukan, orang yang “tidak kaya” yakni dengan cara kolektif atau urunan, yang penting adalah IKHLAS. Tidak ada dalih apapun yang bisa dijadikan sebagai alasan bagi kita untuk tidak berqurban, karena jika kita ingat KESETIAAN kepada Allah SWT dan BERBAGI bagi sesama yang tidak mampu.

V. BERQURBAN ADALAH KEIKHLASAN

Untuk mampu melaksanakan ibadah qurban, seseorang harus memiliki keikhlasan. Sama dengan berkorban jika seseorang berkorban untuk sesuatu hal yang ia yakini, maka hal itu pasti ia lakukan dengan sukarela tanpa tuntutan atau pamrih.

Untuk dapat bersikap ikhlas, bukan suatu yang mudah, karena pada hakekatnya, manusia sudah terbiasa dengan segala hal yang sifatnya transaksional.

Ikhlas adalah tanpa pamrih, sehingga untuk sesuatu yang dalam perhitungan tidak mendatangkan keuntungan, umumnya sulit untuk diterima. Manusia sudah dikuasai dunia yang serba kapitalis, tidak ada lagi yang gratis, semua harus bayar. Sampai dengan membuat hajat saja, kita diwajibkan untuk membayar.

Pengaruh hal semacam itu dalam kehidupan, telah menggiring kita pada sikap yang sama, yakni pada saat berhubungan dengan Allah SWT. Tidak kurang manusia yang mengejar beribadah karena iming-iming PAHALA.
Pada ibadah qurban, yang dituntut adalah keikhlasan semata. Tanpa keikhlasan ibadah itu hanya menjadikan manusia yang bertopeng kemunafikan. Bisa dibayangkan seorang yang “merasa” dirinya mampu berqurban, melaksanakan ibadah qurban hanya untuk dipuji oleh orang lain. Orang semacam ini akan “bersaing” untuk beribadah dengan orang yang sejenis dengan dia. Misalnya si A berqurban seekor kambing, mendengar hal itu si B tidak mau kalah akan berqurban seekor sapid an begitu seterusnya.

Itukah yang disebut beribadah ? Kita menjalankan ibadah apapun, salah satunya ibadah qurban, untuk mencari ridho Allah SWT, menunjukkan KESETIAAN kita kepada Allah SWT serta BERBAGI dengan orang-orang yang tidak mampu, bukan untuk bersaing mencari kepuasan duniawi, dengan berbagai pujian yang malah akan menjerumuskan kita pada kesesatan.

Manusia yang mampu beribadah dengan keikhlasan akan merasakan kenikmatan yang luar biasa, mata hatinya akan terus dibukakan oleh Allah SWT, untuk melihat dan menikmati rasa syukur yang tak habis-habisnya. Nikmatilah kebahagiaan ketika kita suatu saat bisa bertatap mata dan menyerahkan secara langsung sedekah kepada anak yatim, di mata mereka kita bisa melihat, kebesaran dan kasih sayang Allah SWT. Subhaanallaah.

VI. BERKORBAN DENGAN BERQURBAN

Berqurban adalah ibadah, jika dilakukan tanpa didasari dengan iman maka manusia akan merasa menjadi “korban”, karena pada awal tulisan ini, penulis sudah sampaikan, bahwa jika perbuatan apapun bentuknya, jika di dalam hatinya terdapat ketidakrelaan atau ketidakikhlasan, maka perbuatan itu akan menyiksa batinnya. Perbuatan itu dilakukan karena keterpaksaan belaka. Akhirnya “pengorbanan” yang dilakukannya malah menjadikan dirinya sebagai “korban” keterpaksaan.

Ketika seseorang ingin ikut melaksanakan ibadah qurban, ia harus memahami benar bahwa apa yang diberikan bagi orang lain itu akan beralih sepenuhnya, artinya ia harus melepaskan haknya untuk diberikan secara ikhlas kepada orang lain, tanpa ia memiliki hak untuk ikut menikmati atau memintanya kembali.

Kesalahkaprahan yang saat ini terjadi di dalam masyarakat, khususnya umat Islam dalam ibadah qurban adalah antara orang yang berqurban (artinya mereka yang sebenarnya mampu dan berpenghasilan) dengan masyarakat yang menerima qurban saling berebut, ironisnya adalah orang yang akan berqurban sudah memesan kepada petugas yang memotong hewan qurban, bagian-bagian dari tubuh hewan qurban yang ia inginkan.

Kejadian seperti ini dapat kita temukan hampir di semua tempat pemotongan hewan qurban dan seolah-olah hal seperti itu sudah menjadi tradisi bahkan kebiasaan bagi orang yang berqurban.

Jika demikian halnya, dimana letak esensi kita dalam berqurban, bukankah ini adalah contoh yang penulis gambarkan di bab sebelumnya, yakni “berqurban dengan pamrih”

Penulis ingin kita menyimak dan memahami arti berqurban secara hakiki, perbandingan sudah disampaikan pada bab tentang BERKORBAN di atas.

Berqurban bukan sekedar kita mampu dan memiliki uang untuk membeli hewan qurban untuk disembelih dan dibagikan kepada orang lain, lalu perbuatan itu sudah bisa disebut sebagai “BERQURBAN”.

Janganlah sampai kita berbuat seolah-olah kita sudah beribadah, ternyata perbuatan itu hanya sia-sia, seperti orang yang berangan-angan untuk meng-asin-kan laut dengan membuang garam ke laut, ternyata percuma.

Berqurban identik dengan berkorban. Setiap orang yang berniat untuk melaksanakan ibadah qurban, harus mempersiapkan fisik, mental dan spiritualnya, karena akan ada sesuatu yang hilang atau berkurang pada dirinya pada saat berqurban, misalnya yang paling terasa adalah sejumlah uang yang digunakan untuk membeli hewan qurban atau menahan nafsu untuk tidak menginginkan sedikitpun dari apa yang sudah ia korbankan untuk berqurban.

Minimal ada dua hal yang menjadi esensi manusia dalam melaksanakan ibadah qurban, yaitu :

1. Dengan berqurban kita menyatakan KESETIAAN kita kepada Allah SWT, bahwa walaupun kita telah diberkati dengan rejeki yang cukup atau berlimpah, kita TIDAK DIPERBUDAK OLEH UANG, kita tetap ingat bahwa di dalam rejeki yang diberikan Allah SWT, ada sebagian kecil milik kaum dhuafa dan anak yatim, sehingga kita wajib berbagi dengan mereka, salah satunya melalui qurban;
2. Dengan berqurban kita menyatakan KEIKHLASAN kita, dengan mengorbankan sebagian dari kenikmatan yang kita miliki, untuk dinikmati orang yang tidak mampu berqurban, sebagai rasa syukur atas semua kelebihan yang telah diberikan Allah SWT kepada kita selama ini.

VII. PENUTUP

Dengan telah dipahaminya hakekat ibadah qurban, jangan terjadi lagi orang yang kaya, mampu, berpenghasilan ingin ikut menikmati hewan qurban. Alasannya adalah
1. Yang pertama adalah MALU, kita yang seharusnya melaksanakan qurban untuk kaum dhuafa dan anak yatim, malah ikut menjadi benalu, dengan ikut berebut hewan qurban;
2. Mari kita belajar, sekecil apapun penghasilan yang kita miliki, syukurilah. Sekecil apapun sedekah yang kamu kumpulkan untuk ikut melaksanakan qurban secara urunan dg orang lain, nikmatilah sebagai anugerah yang luar biasa yang diberikan Alah SWT,tidak perlu berkecil hati. Dari yang kecil inilah, kita imani, Insya Allah, Allah SWT akan menambahkan rezeki kita, sehingga suatu saat, kita akan mampu melaksanakan qurban utuh sendiri tanpa harus urunan;

Penulis berdoa, semoga tulisan pendek ini akan menggugah setiap umat Islam yang “berpenghasilan dan mampu” agar tidak lagi ikut berebut hewan qurban bersama dengan kaum dhuafa dan anak yatim di hari Idhul Adha dan bagi mereka yang belum mampu berqurban karena ketidakmampuan ekonomi, insya Allah, suatu saat dimampukan oleh Allah SWT untuk berqurban.Amin ya robbal allamin.

Bogor,23 November 2008
Pimpin Nagawan

Tidak ada komentar: